Bareksa.com – Isu soal PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) mengalami kebangkrutan merebak dalam beberapa hari terakhir. Hal ini terkait dengan rugi bersih US$ 98,49 juta yang dicatatkan pada kuartal pertama tahun ini. Namun apakah dengan catatan itu maskapai pelat merah ini layak disebut bangkrut?
Mengambil definisi sederhana dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bangkrut berarti menderita kerugian besar hingga jatuh. Dalam konteks ini, sebuah perusahaan dinyatakan bangkrut karena selalu menderita kerugian.
Namun Wikipedia mencatat, kebangkrutan adalah ketidakmampuan yang dinyatakan secara legal oleh individu atau organisasi untuk membayar kreditur mereka. Lalu, apakah Garuda Indonesia layak dinyatakan bangkrut?
Bareksa mencoba menelusuri kinerja keuangan Garuda Indonesia periode 2012 - 2016. Dalam kurun waktu lima tahun, keuangan Garuda Indonesia memang tidak stabil. Sempat mencatat laba tinggi pada 2012 dengan angka US$ 121,54 juta, keuangan Garuda merosot setahun kemudian dan mencatatkan penurunan laba menjadi US$ 20,49 juta.
Bahkan perseroan harus mencatat laporan keuangan Tahun Buku 2014 dengan kerugian US$ 370,04 juta. Saat itu, pendapatan usaha Garuda Indonesia yang mencapai US$ 3,93 miliar tak mampu mengimbangi jumlah beban usaha yang bernilai US$ 4,29 miliar.
Untungnya, kerugian itu hanya sementara. Garuda Indonesia kembali mencetak untung pada 2015 dengan nilai US$ 76,48 juta. Sayang, keuntungan tersebut kembali turun pada 2016 menjadi US$ 8,07 juta.
Grafik: Catatan Laba/Rugi Garuda Indonesia Periode 2010-2016 (dalam jutaan Dollar)
Sumber: Laporan tahunan perseroan
Meski laba berfluktuasi, jumlah aset Garuda Indonesia terus meningkat. Per akhir 2016, nilainya mencapai US$ 3,74 miliar. Angka ini tumbuh dua kali lipat jika dibandingkan jumlah aset tahun 2010 yang masih bernilai US$ 1,62 miliar.
Tidak hanya itu, kita juga bisa melihat ekuitas Garuda Indonesia yang terus membesar. Posisi terakhir 2016, nilainya US$ 1,01 miliar dibandingkan posisi akhir 2010 US$ 497 juta. Sayang liabilitas perseroan ikut membengkak dari posisi 2010 US$ 1,12 miliar menjadi US$ 2,73 miliar per akhir 2016.
Target 2017
Sebelum peralihan pucuk manajemen ke Pahala N. Mansury, eks Direktur Utama Garuda Indonesia Muhammad Arif Wibowo telah menetapkan target-target keuangan tahun 2017. Tertuang dalam laporan tahunan 2016, target keuangan Garuda tahun ini terbilang agresif.
Misalnya saja dari sisi target laba. Garuda Indonesia menetapkan angka US$ 57,8 juta, yang artinya naik hingga 244,48 persen dari catatan laba 2016. Padahal, dari sisi pendapatan, perseroan hanya mengincar angka US$ 4,52 miliar atau tumbuh 17,09 persen dari pendapatan tahun 2016 yang mencapai US$ 3,86 miliar.
Tabel: Target Keuangan Garuda Indonesia Tahun 2017
Sumber: Laporan tahunan perseroan
Di beberapa kesempatan, Pahala yang kini menjadi pilot dalam jajaran manajemen Garuda mengatakan, pihaknya berfokus melakukan perbaikan dan peningkatan kinerja perusahaan melalui sepuluh inisiatif kinerja finansial dan bisnis.
Salah satuya melalui optimalisasi armada serta menurunkan biaya armada yang ada selama ini. Selain itu, Garuda Indonesia juga akan meningkatkan kualitas pelayanan terutama ketepatan waktu keberangkatan dan kedatangan pesawat.
Pahala juga bilang perseroan juga akan membenahi sistem pengelolaan pendapatan yang diperoleh dari pengguna jasa agar kondisi perusahaan bisa terus membaik. Perbaikan keuangan perusahaan, kata dia, juga dilakukan dengan mengevaluasi sejumlah rute penerbangan yang kemungkinan bisa saja ditambah maupun dikurangi frekuensinya.