Bareksa.com -- Pertumbuhan kredit perbankan di Indonesia masih terbilang wajar sehingga industri ini dianggap masih jauh dari risiko sistemik. Bank sentral pun menganggap kewajiban tambahan modal sebagai penyangga bagi perbankan nasional belum perlu diubah.
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) menetapkan besaran tambahan modal bank berupa Countercyclical Capital Buffer (CCB) sebesar nol persen, atau tidak mengalami perubahan dari besaran yang berlaku saat ini. Bank sentral menilai perkembangan industri perbankan sampai akhir triwulan satu 2017 dalam kondisi stabil.
"Penetapan tersebut antara lain berdasarkan indikasi tidak adanya pertumbuhan kredit yang berlebihan (excessive credit growth) yang berpotensi menyebabkan risiko sistemik," tukas Direktur Eksekutif Komunikasi BI, Tirta Segara dalam keterangannya di Jakarta (19 Mei 2017).
Ia menjelaskan, hal tersebut ditunjukkan oleh indikator kesenjangan rasio kredit terhadap Produk Domestik Bruto (Credit to GDP gap), sebagai indikator utama (buffer guide) dalam menetapkan besaran CCB, yang berada di bawah ambang batas (threshold) bawah.
Pada akhir triwulan satu, pertumbuhan kredit telah menunjukkan peningkatan yakni menjadi 9,24 persen secara setahunan (year on year/yoy), seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,01 persen. "Di tengah perkembangan kondisi tersebut, belum terlihat adanya peningkatan risiko sistemik. Hal ini antara lain didukung oleh indikator Siklus Keuangan Indonesia (SKI) yang masih berada pada fase kontraksi," tegas Tirta.
CCB sendiri merupakan salah satu instrumen kebijakan makroprudensial yang bertujuan mencegah peningkatan risiko sistemik yang bersumber dari pertumbuhan kredit yang berlebihan. Selain itu, CCB juga berfungsi untuk menyerap kerugian yang dihadapi perbankan melalui pembentukan tambahan modal sebagai penyangga (buffer).
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.17/22/PBI/2015, Bank Indonesia melakukan evaluasi besaran dan waktu pemberlakuan CCB paling kurang satu kali dalam enam bulan. Penetapan besaran CCB sebesar nol persen tidak akan memengaruhi upaya bank dalam meningkatkan fungsi intermediasinya, sehingga diharapkan dapat berkontribusi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Target pertumbuhan kredit perbankan sendiri pada tahun ini ada di level 13,1 persen.
Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, meski hingga kuartal satu 2017 pertumbuhan kredit perseroan sudah mencapai 14,2 persen, realisasi pertumbuhan kredit hingga akhir tahun bergantung pada penyaluran kredit di kuartal III dan IV 2017. "Target kami 11-13 persen sampai akhir tahun ini tumbuhnya. Tapi kita lihat kuartal III dan IV. Dan ini juga bergantung pada kondisi likuiditas kita," ujarnya di Jakarta.
Hal senada diungkapkan Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) Suprajarto yang optimis mencapai target pertumbuhan kredit yang telah ditetapkan dalam Rencana Bisnis Bank (RBB). "Untuk kredit, kami targetkan pertumbuhan antara 12 persen hingga 14 persen,” ucapnya.
Sementara itu, berdasarkan survei PricewaterhouseCoopers (PwC) Indonesia kepada para bankir, mayoritas pelaku perbankan optimistis bisa menggenjot kredit double digit. "Pertumbuhan kredit sebesar 10-15 persen masih lebih rendah dibanding waktu-waktu sebelumnya, tetapi separuh responden mengharapkan pertumbuhan sebesar 10 persen atau lebih di tahun 2017 ini,” tutur Financial Services Industry Leader PwC Indonesia, David Wake.
BI mencatat selain pertumbuhan kredit yang di level 9,24 persen pada akhir triwulan satu 2017, dana pihak ketiga (DPK) perbankan tumbuh 10,6 persen secara setahunan, lebih tinggi dari kredit yang tentunya memberikan kelonggaran dalam penyaluran pembiayaan. Hal ini membuat posisi rasio kredit terhadap DPK (LDR) ada di level 88,9 persen. (K15)