Bareksa.com - Fokus pemerintah untuk memperbaiki sektor infrastruktur memerlukan dana yang tidak sedikit. Di saat anggaran negara terbatas, institusi keuangan pun didorong untuk dapat berkontribusi terhadap pembangunan infrastruktur sehingga dapat berdampak pada kemajuan Indonesia.
Opsi yang dipertimbangkan untuk dapat digunakan membiayai pembangunan infrastruktur nasional adalah pembiayaan dalam bentuk lain, yakni PINA (Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah) termasuk obligasi jangka panjang yang memanfaatkan dana dari asuransi dan dana pensiun. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun telah menerbitkan aturan mengenai investasi surat berharga negara (SBN) bagi lembaga jasa keuangan non-bank (asuransi dan dana pensiun).
Dalam aturan tersebut, disebutkan bahwa asuransi jiwa wajib menempatkan dana pada surat berharga negara (SBN) sebesar 30 persen dari seluruh jumlah investasi perusahaan. Perusahaan asuransi umum dan reasuransi paling rendah 20 persen dari seluruh jumlah investasi. Sementara bagi dana pensiun (dapen) pemberi kerja, paling rendah 30 persen dari seluruh investasi. Ke depannya, investasi dari premi asuransi dan dapen tidak hanya bisa ditanamkan pada obligasi negara, tetapi juga pada obligasi BUMN sektor infrastruktur.
Instrumen obligasi ini bisa dibilang cocok bagi pembiayaan proyek infrastruktur yang memang sifatnya jangka panjang. Adapun asuransi dan dana pensiun memiliki dana kelolaan jangka panjang yang bisa menjadi sumber bagi pembiayaan proyek-proyek tersebut.
Menurut data OJK per Februari 2017, portofolio investasi dapen mencapai Rp234,706 triliun atau naik 1,025 persen dari Januari 2017. Sementara secara year on year (yoy), angka tersebut tumbuh 13,72 persen dari Rp206,387 trilliun.
Yang menarik dari data ini, portofolio investasi dapen di deposito berjangka hanya naik 2,93 persen yoy dari Rp58,11 triliun menjadi Rp59,82 triliun. Di sisi lain, investasi dapen di obligasi justru naik 9,2 persen menjadi Rp 48,31 triliun dari sebelumnya Rp44,22 triliun, sementara di surat berharga negara mencapai Rp55,49 triliun atau naik 35,16 persen dari Rp41,05 triliun.
Tabel: Portofolio Investasi Dapen Periode Februari 2016 Vs Februari 2017 (miliar Rupiah)
Sumber: OJK
Seiring dengan peningkatan penempatan dana kelolaan dapen di obligasi, tentunya harga obligasi -- khususnya yang berjenis korporasi dan diterbitkan oleh BUMN -- juga ikut naik. Lantas obligasi BUMN dari sektor infrastruktur mana yang naik paling tinggi sepanjang tahun 2017?
Bareksa menganalisis data obligasi korporasi yang diterbitkan oleh sejumlah BUMN konstruksi. Terpantau, harga obligasi bertenor 5 tahun yang diterbitkan oleh PT PP Tbk (PTPP) pada 2013 sudah naik cukup tinggi bila dibandingkan dengan nilai parinya (par value). Nilai nominal yang diterbitkan adalah sebesar Rp700 miliar.
Terakhir diperdagangkan 6 April 2017, obligasi berkode PTPP 01CN1 berada di level harga premium 100,55 persen. Padahal, pada akhir tahun 2016, obligasi bertenor 5 tahun ini masih diperdagangkan di harga 99 persen. Bahkan, pada akhir 2015, obligasi ini hanya seharga 94,25 persen dari nilai nominalnya.
Adapun kupon yang diterima pemegang obligasi dengan rating A+ ini adalah sebesar 8,38 persen setiap tahunnya.
Grafik: Data Historikal Harga Obligasi PTPP01CN1
Sumber: Bareksa.com
Selain milik PTPP, harga obligasi bertenor 5 tahun yang diterbitkan oleh perusahaan konstruksi PT Adhi Karya Tbk (ADHI) pada 2015 juga sudah naik cukup tinggi. Adapun nilai nominal penerbitan obligasi ini adalah Rp125 miliar.
Grafik: Data Historikal Obligasi ADHI01ACN2
Sumber: Bareksa.com
Terakhir diperdagangkan pada 10 April 2017, harga obligasi berkode ADHI01ACN2 ini setara 98 persen dari nilai parinya. Pada akhir tahun 2016, obligasi ini masih ditransaksikan seharga 97 persen nilai pari. Bahkan pada akhir 2015, obligasi dengan tenor 5 tahun ini pernah ditransaksikan hanya 90 persen dari harga parinya.
Sebagai catatan, obligasi ini memiliki A- dengan nilai kupon sebesar 8,1 persen setahun. (hm)