Bareksa.com - PT Bank Dinar Indonesia Tbk (DNAR) mematok seperempat kucuran target kredit ke sektor infrastruktur. Kendati tidak bisa masuk untuk proyek infrastruktur secara langsung, bank yang baru diakuisisi oleh APRO Financial Co. Ltd ini akan masuk lewat subsektor perdagangan yang menunjang sektor infrastruktur.
Direktur Utama Bank Dinar, Hendra Lie mengatakan, fokus bisnis perseroan memang lebih banyak di sektor perdagangan. Namun ia tidak menampik daya tarik sektor infrastruktur. Terlebih dengan semakin getolnya pemerintahan Jokow Widodo dan Jusuf Kalla memacu pembangunan infrastruktur di tanah air.
"Kalau bisa masuk ke (bisnis) yang menyangga infrastruktur. Seperti bahan bangunan, besi baja, pasir dan pergudangan. Kita memang lewat trading-nya (perdagangan), yang fokus ke penunjang infrastruktur. Karena kita tidak bisa masuk plek ke infrastruktur," papar Hendra usai Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) di Jakarta, Senin (10 April 2017).
Total outstanding kredit Bank Dinar sendiri sebesar Rp1,33 triliun per akhir 2016, tumbuh 17,20 persen dari Rp1,14 triliun pada akhir tahun 2015. Menurut Hendra, porsi kredit yang terkait dengan infrastruktur terus bertambah. "Sekarang porsi infrastruktur dari total kredit posisi April sekitar 25 persen. Kita banyak di pedagang atau supplier besi baja, pasir. Desember porsinya sekitar 15 persen. Kita maintain (pertahankan) di 20 persen, kalau bisa 25 persen," jelasnya.
Pada tahun ini, perseroan menargetkan pertumbuhan kredit sebesar 16 persen, dengan dukungan dana pihak ketiga (DPK) dipatok naik 15 persen. Tahun lalu, DPK Bank Dinar tumbuh 9,80 persen atau bertambah Rp144,20 miliar menjadi Rp1,62 triliun. Untuk pendanaan, lanjut Hendra, perseroan akan mendorong porsi dana murah dari produk giro dan tabungan (CASA) ke level 17,5 persen, dari 12 persen per Desember 2016. "Tidak terlalu fantastis (porsinya). Tapi kita ada program tabungan bisnis. Agar komposisi funding lebih sehat, tahun ini kami akan lebih fokus ke CASA," tuturnya.
Dari sisi kualitas kredit, rasio kredit bermasalah atau NPL perseroan ada di level 1,41 persen secara gross per akhir tahun lalu. Menurut Hendra, rasio NPL membaik dengan penurunan menjadi 1,27 persen per Maret 2017.
Proses Merger
Terkait dengan proses akuisisi 77,38 persen saham perseroan oleh APRO Financial Co.Ltd. Hendra menjelaskan, bahwa saat ini prosesnya tengah menunggu persetujuan regulator dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK). "Sehingga tahun ini bisa berlangsung dengan baik,” tukasnya.
Sebelumnya, dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa perseroan awal Februari lalu, pemegang saham Bank Dinar menyetujui rencana penjualan 1,74 miliar lembar saham kepada investor asal Korea Selatan, APRO Financial Co.Ltd. Jumlah tersebut setara dengan 77,38 persen dari total jumlah saham Bank Dinar atau sekitar Rp691 miliar.
Hendra menjelaskan, dengan adanya akuisisi tersebut posisi permodalan Bank Dinar diharapkan bisa terus ditingkatkan. Saat ini, lanjutnya, modal inti perseroan ada di kisaran Rp400 miliar. Menurut Hendra, usai memperoleh izin akuisisi dari OJK, pihaknya akan meneruskan rencana penggabungan usaha atau merger dengan PT Bank Andara. "Andara tunggu OJK. Next step merger dan rebranding. Setelah merger kita naik kelas ke BUKU 2 (Bank Umum Kegiatan Usaha dengan modal inti Rp1 triliun hingga di bawah Rp5 triliun). Sekarang Andara sekitar Rp600 miliar, Bank Dinar Rp400 miliar," tuturnya.
Upaya merger tersebut sesuai dengan rencana bisnis APRO di Indonesia, yang juga telah mengakuisisi saham Bank Andara akhir tahun lalu. Sebagaimana diketahui pada tanggal 18 November 2016, Bank Andara dan APRO Financial Co. Ltd telah menandatangani akta akuisisi yang menandai telah efektifnya akuisisi oleh APRO. Transaksi akuisisi Bank Andara dilakukan melalui pembelian saham baru Bank Andara sebesar 40 persen dengan nilai pembelian Rp450 miliar. APRO Financial Co. Ltd sendiri merupakan institusi keuangan besar dari Korea Selatan, yang baru pertama kali berinvestasi di Indonesia. (K15)