Bareksa.com – Dalam sepekan terakhir, nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat. Keadaan ini berkebalikan dengan mayoritas mata uang Asia lainnya yang mendapatkan momentum pelemahan indeks dolar. Tingkat inflasi pada bulan Januari menjadi faktor yang menekan nilai mata uang Indonesia tersebut.
Saat ini rupiah diperdagangkan di level Rp13.362 per dolar AS atau telah terdepresiasi sebesar 0,24 persen. Keadaan ini justru berbeda dengan keadaan mata uang Asia lainnya yang mayoritas terapresiasi di akhir Januari.
Delapan dari 12 mata uang negara di Asia menguat dikarenakan faktor eksternal, yakni melemahnya indeks dolar AS (DXY) hingga di bawah level 100 sebagai nilai dasarnya. Sehingga keadaan ini pun direspon positif oleh pelaku pasar khususnya di negara berkembang.
Grafik : Perbandingan Nilai Mata Uang Asia Terhadap Dolar AS
Sumber : Bloomberg, diolah Bareksa.com
Melemahnya indeks dolar yang saat ini berada di level 99,8 merupakan salah satu keinginan Donald Trump agar ekspor AS kembali terdongkrak. Pasalnya, semakin murahnya nilai tukar dolar AS terhadap mata uang dunia lainnya membuat nilai ekspor negara adidaya itu semakin tinggi.
Indeks dolar yang diperdagangkan di level 99,8 menggambarkan bahwa harga dolar diperdagangkan di level diskon atau lebih murah 0,2 persen dari harga wajarnya di level 100. Seperti diketahui, level 100 dijadikan sebagai level base atau dasar dari suatu indeks.
Tingkat Inflasi Indonesia
Indonesia gagal memanfaatkan momentum pelemahan dolar ini karena terjadi inflasi yang cukup besar. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data inflasi Indonesia untuk bulan Januari 2017 sebesar 0,97 persen dan tingkat inflasi tahun ke tahun (Januari 2017 terhadap Januari 2016) sebesar 3,49 persen.
Inflasi terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh naiknya seluruh indeks pengeluaran dengan kenaikan paling besar disumbang oleh kelompok listrik, gas, dan bahan bakar sebesar 1,09 persen dan kelompok transport, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 2,35 persen. Naiknya kelompok tersebut diwakili oleh naiknya biaya perpanjangan STNK, tarif listrik, tarif pulsa, dan bensin.
Lalu, kelompok listrik dan transport masing-masing memberikan andil sebesar 0,26 persen dan 0,43 persen. Keadaan ini menggambarkan bahwa sepanjang Januari 2017, 69 persen inflasi Indonesia justru disebabkan oleh naiknya tarif listrik dan biaya perpanjangan STNK di tengah stabilnya kenaikan inflasi untuk bahan makanan sebesar 0,14 persen.
Bareksa melihat, rilisnya angka inflasi di bulan Januari yang berada di luar ekspektasi menyebabkan rupiah cenderung melemah terbatas terhadap dolar AS seiring Indeks USD yang terdepresiasi dalam sepekan terakhir. Hal ini sekaligus menjadi dasar pertimbangan para pelaku pasar untuk memprediksi inflasi Indonesia di sepanjang tahun 2017 berada di atas 4 persen, atau lebih tinggi dibandingkan inflasi 2016. (hm)