Bareksa.com- Selayaknya pembangunan di kota-kota maju di dunia, proyek reklamasi juga menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Hal ini pun menjadi isu panas yang dapat diangkat menjadi senjata dalam debat calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta tahun 2017 ini.
Proyek reklamasi ini merupakan bagian dari proyek nasional National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) atau Giant Sea Wall. Proyek ini dikerjakan pemerintah pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bekerja sama dengan Pemerintah Belanda.
Proyek ini berupa sebuah tanggul laut raksasa yang akan membentengi Teluk Jakarta sepanjang 33 kilometer dengan menelan dana hingga Rp400-500 triliun. Nilai fantastis tersebut belum dihitung dengan adanya kemungkinan harga tanah yang naik di wilayah reklamasi tersebut. Sehingga, biaya pengembangannya bisa bertambah Rp360 triliun.
Secara garis besar, pengerjaan tanggul raksasa tersebut dibagi ke dalam tiga tipe atau wilayah, yakni tipe A, B dan C. Tipe A ini merupakan proyek reklamasi pantai yang di dalamnya akan dibangun 17 pulau buatan ditambah dengan peninggian tanggul di bibir pantai utara, sepanjang 33 kilometer.
Yang menjadi ranah Pemprov DKI adalah bagian tipe A, yakni reklamasi yang dilakukan oleh para pengembang swasta. Proyek yang digagas sejak era Gubernur Fauzi Bowo ini memerlukan lahan seluas 5.100 Ha.
Gambar: Peta Rencana Reklamasi Pantai Utara
Sumber: Presentasi Pemerintah DKI Jakarta
Hasil reklamasi nantinya akan dibangun menjadi kota mandiri dengan fasilitas seperti perumahan, perkantoran, pusat perbelanjaan dan kawasan industri. Selain itu, akan dibangun jalan tol guna mempermudah jangkauan di kawasan sekitar reklamasi, Giant Sea Wall dan sekitarnya.
Sementara itu, Tipe B berupa pembangunan tembok bergambar garuda raksasa di laut dalam. Terakhir, untuk tipe C adalah pembangunan tahap besar tanggul raksasa serta pembangunan danau penyimpan dan pompa besar.
Lantas, apa pentingnya reklamasi tersebut?
Secara garis besar, proyek tersebut dirancang untuk mengatasi banjir akibat kenaikan permukaan air laut, membersihkan air sungai sebelum ke laut dan reklamasi pantai.
1. Membentengi Jakarta dari Permukaan Laut yang Meninggi
Bendungan berupa dinding raksasa akan dibangun membentengi pantai. Berdasarkan hasil penelitian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), penurunan muka tanah di Jakarta mencapai 18 centimeter per tahun. Hal ini akibat ekstraksi atau pencurian air tanah oleh pengelola gedung-gedung bertingkat maupun perumahan.
Mengingat adanya kajian teknis yang mengungkap masa depan Jakarta ada di Teluk Jakarta, kalau tidak segera diatasi, diperkirakan pada tahun 2050 nanti, permukaan air laut sudah sampai ke Dukuh Atas (kawasan Sudirman). Artinya, bila air laut tidak dibendung, sebagian besar kawasan Jakarta akan tenggelam.
2. Menampung Air Bersih untuk Jakarta
Tembok raksasa yang akan dibangun tersebut dapat berguna juga sebagai waduk atau penampung air. Mengingat sebagian besar air tanah di Jakarta sudah banyak disedot untuk gedung bertingkat dan perumahan, tempat penampungan ini akan sangat berguna.
Penampung air bersih ini bisa mengurangi ketergantungan Jakarta terhadap Waduk Jatiluhur yang berada di Purwakarta, Jawa Barat.
3. Potensi Pendapatan Pemprov DKI
Selain mengatasi banjir yang mengerikan, reklamasi Kawasan Pantai Utara Jakarta yang kini menjadi polemik ternyata bisa mendatangkan pendapatan cukup besar bagi pemerintah DKI Jakarta. Bahkan, menurut perhitungan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama atau Ahok (yang kini non-aktif), proyek ini bisa mendatangkan bantuan infrastruktur dan sosial senilai lebih dari Rp40 triliun atau setara dengan biaya pembangunan tujuh koridor LRT (Light Rail Transit).
Dari manakah datangnya angka tersebut?
Wilayah yang direklamasi itu tidak seluruhnya bisa dibangun perumahan horizontal dan vertikal, campuran, pendukung pelabuhan, industri maupun pergudangan. Dalam aturan Pemprov DKI, disebut pengembang harus menggunakan 30 persen lahan untuk ruang terbuka hijau, 5 persen untuk ruang terbuka biru, 10 persen untuk jaringan jalan dan 5 persen untuk kawasan pelayanan umum dan sosial. Artinya kawasan yang bisa dibangun hanya 60 persen dari total lahan.
Di samping itu, Ahok mengusulkan sebuah aturan untuk menambah kontribusi bagi Pemprov dan masyarakat DKI. Namun, usulan ini masih terganjal di DPRD. Usulan itu menyebutkan tambahan 5 - 10 persen lahan untuk kawasan ruang terbuka hijau milik privat yang didedikasikan untuk publik yang berlaku pada pulau A, B, C, D dan E.
Bila usulan itu disetujui, 5 pulau ini hanya bisa membangun kawasan komersial berkisar antara 40 - 45 persen dari total wilayah reklamasi. Jika diperhitungkan terhadap luas pulau semula, maka luas kawasan yang bisa dibangun komersil pada proyek reklamasi hanya 2.780 hektar.
Lantas, potensi penerimaan bagi kas Pemprov DKI adalah dari pajak. Nilai jual obyek pajak (NJOP) wilayah reklamasi di Jakarta Utara per tahun 2014 berada pada range Rp391.000 sampai Rp33 juta per meter persegi. Jika diasumsikan NJOP wilayah reklamasi adalah Rp10 juta per meter persegi, maka total NJOP kawasan reklamasi mencapai Rp278 triliun (2.780 ha x Rp10 juta). Jadi, dengan tambahan kontribusi sebesar 15 persen, nilai yang berpotensi didapat pemerintah DKI dari proyek reklamasi mencapai Rp41,7 triliun.
Jika penjualan wilayah reklamasi itu dilakukan secara bertahap hingga 10 tahun setelah reklamasi selesai dilakukan, maka kontribusi kepada pemerintah daerah akan semakin besar. Ahok memperkirakan hingga 2027 pemerintah daerah bisa mendapatkan dana hingga Rp158 triliun.
Dana ini menurutnya bisa digunakan untuk mengatasi banjir yang berada di daerah-daerah di sekitar reklamasi dan juga seluruh Jakarta. Oleh karena itu, Ahok terus mendorong adanya kontribusi hingga 15 persen ini dari pengembang reklamasi.
Proyek Reklamasi Mandek
Akan tetapi, peraturan mengenai kawasan publik yang harus diberikan oleh para pengembang ini masih tersangkut pembahasan di tingkat DPRD. Aturan tersebut adalah Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta 2015 - 2035 dan Raperda tentang rencana tata ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
Hingga saat ini, DPRD masih enggan melanjutkan pembahasan setelah kasus penyuapan yang menyangkut petinggi salah satu pengembang dan pejabat di parlemen daerah tersebut. Seperti diberitakan, pada 4 April 2016, Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN), Ariesman Widjaja, ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kasus suap kepada M. Sanusi, Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta.
Penangkapan dilakukan setelah Sanusi menerima uang dari karyawan Agung Podomoro. Sanusi diduga menerima uang sebesar Rp1 miliar dan Rp140 juta yang merupakan bagian dari commitment fee suap dua Raperda. Angka tersebut merupakan setoran kedua, sedangkan setoran pertama sudah diserahkan senilai Rp1 miliar.
Akibat kasus tersebut, DPRD pun enggan membahas aturan terkait tata ruang itu hingga periode pemerintahan selanjutnya. Hal ini pun membuat proyek triliunan rupiah itu mangkrak. Padahal, sejumlah pengembang sudah mengucurkan uang mereka.
Sejumlah pihak yang ikut dalam pengembangan ini adalah Grup Agung Sedayu (milik Aguan), PT Agung Podomoroland Tbk (APLN), PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk (PJAA) dan PT Intiland Development Tbk (DILD). Masing-masing telah mendapatkan izin baik semenjak Fauzi Bowo menjabat maupun pada masa pemerintahan Ahok.
Tabel: Nama Pengembang Pemegang Izin Reklamasi
Sumber: Penelusuran Bareksa.com
Dana yang dikeluarkan Agung Podomoro untuk membangun proyek reklamasi cukup besar hingga Rp1,7 triliun, menurut Analis Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), Yogie Perdana. Dana tersebut untuk membayar kontraktor dan mengurus administrasi Pemda dan kewajiban lingkungan lain. Adapun aliran dana yang masuk ke kas perusahaan dari proyek reklamasinya yakni Pluit City sudah mencapai Rp1 triliun. Jika proyek reklamasi berujung batal, maka dana tersebut harus dikembalikan ke pembeli.
Sementara itu, Jaya Ancol yang merupakan badan usaha milik daerah juga ikut ambil bagian. Rencana pengembangan reklamasi di bawah Jaya Ancol dimulai dari pengembangan Pulau K untuk membangun Theme Park baru, yaitu Dufan Ocean yang diperkirakan akan menelan biaya Rp 800 miliar. Hingga 31 Desember 2015, Jaya Ancol sudah melakukan pekerjaan fisik tanggul dan penyelesaiannya diestimasikan pada 2018.
Mengingat besarnya dampak dan biaya dari megaproyek tersebut, sangat disayangkan bila reklamasi harus dihentikan tanpa ada kompensasi bagi pengembangan Jakarta. Lantas, apa langkah Gubernur DKI Jakarta selanjutnya untuk memuluskan atau justru menghentikan proyek reklamasi yang memiliki berbagai manfaat ini?