Rasio Kemiskinan, Pengangguran, dan Ketimpangan Menurun? Ini Faktanya!

Bareksa • 24 Jan 2017

an image
Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri menjawab pertanyaan wartawan di sela-sela Diskusi Panel SARA, Radikalisme, dan Prospek Ekonomi Indonesia 2017 di Graha CIMB Niaga Jakarta, 23 Januari 2017.

Faisal Basri menekankan agar tidak salah membaca tiga rasio tersebut

Bareksa.com – Tiga indikator yang biasa digunakan untuk mengukur ekonomi Indonesia menunjukkan angka yang lebih baik, yakni tingkat ketimpangan, kemiskinan dan pengangguran. Akan tetapi, ekonom melihat fakta yang justru menampilkan keadaan sebaliknya.

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis tiga variabel yang digunakan dalam melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia, antara lain: Rasio Gini (Ketimpangan), Angka Kemiskinan, dan Tingkat Pengangguran Tebuka (TPT) untuk tahun 2016. Dalam laporannya yang dikutip Kementerian Keuangan, disebutkan Rasio Gini berada di level 0,40 persen atau lebih rendah dibandingkan tahun 2015 yang mencapai 0,41 persen. Angka Kemiskinan juga dinyatakan turun menjadi 10,7 persen atau lebih rendah dibandingkan tahun 2015 sebesar 11,2 persen serta TPT yang berada di level 5,61 persen atau lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya di level 6,18 persen.

Meski begitu, Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri melihat ada yang janggal terkait data di atas. Berikut poin-poin yang disampaikan dalam presentasinya di Diskusi Panel SARA, Radikalisme, dan Prospek Ekonomi Indonesia 2017 di Jakarta Senin 23 Januari 2017:

  1. Ketimpangan Kian Parah

Meski Rasio Gini tahun 2016 sebesar 0,40 persen, Faisal Basri melihat bahwa rasio gini tersebut memakai metode pengeluaran (expenditure). Apabila rasio tersebut dianalisis menggunakan metode pendapatan (income) rasio tersebut berada di atas 0,4 persen dalam dua tahun terakhir. Artinya, data tersebut menggambarkan keadaan di mana pendapatan makin tidak terdistribusi secara merata di tengah pengeluaran yang lebih merata. Tak hanya itu, tingkat kemiskinan dan pengangguran terbuka yang menurun dikarenakan mulai banyak usia produktif yang bekerja karena terpaksa dan bukan karena keinginan pribadi mengingat kebutuhan hidup yang semakin tinggi

  1. Kesejahteraan Kelompok Bawah Tertekan

Apabila dijabarkan lebih rinci, 40 persen masyarakat ekonomi kelas bawah dengan mayoritas profesi sebagai petani hanya berkontribusi sebanyak 17 persen terhadap rasio gini dengan metode pengeluaran. Sedangkan 40 persen dihuni oleh masyarakat kelas menengah dengan kontribusi pengeluaran 36 persen dan 20 persen masyarakat kelas atas berkontribusi hingga 47 persen terhadap pengeluaran. 

Menurut BPS, data nilai tukar petani (NTP) perlahan-lahan terus bergerak melemah dari 102,9 di bulan September 2014 menuju 101,5 di bulan Desember 2016. NTP adalah rasio antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani yang dinyatakan dalam persentase. Nilai tukar petani merupakan salah satu indikator dalam menentukan tingkat kesejahteraan petani. Keadaan ini menandakan adanya tekanan daya beli produk pertanian terhadap barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi petani.

  1. Perkuat Sektor Pertanian dan Manufaktur

Dalam penutupan presentasinya, Faisal Basri memberikan solusi agar pemerintah membenahi sektor pertanian dan manufaktur. Sektor yang padat karya ini diharapkan mampu berkontribusi banyak terhadap angka pengangguran sektor riil. Dia mencontohkan Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Hongkong merupakan negara yang minim radikalisme dan mempunyai sektor pertanian dan manufaktur yang kuat.

“Tidak ada jalan pintas, semua harus ada data yang akurat dan berkualitas, semua terukur terutama efeknya. Sinergi antara kementerian harus jelas, segera perbaiki urusan internal antara kementerian dan bicara dari hati ke hati kepada rakyat,” tutupnya. (hm)