Merespon Kenaikan Bunga The Fed 2017, BI Siapkan Strategi Ini

Bareksa • 23 Dec 2016

an image
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo bersiap memberi keterangan pers seusai rapat dewan gubernur di Bank Indonesia, Jakarta. Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate di level 4,75 persen. ANTARA FOTO/Rosa Panggabean

Sementara kredit bank akan naik double digit dengan dukungan konsumsi rumah tangga dan belanja pemerintah

Bareksa.com – Keputusan the Fed menaikkan suku bunga acuannya pada akhir tahun ini, akan berlanjut hingga tahun depan. Hal itu pun diprediksi akan mempengaruhi kebijakan-kebijakan bank sentral negara emerging market, termasuk Indonesia.

Namun PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) menilai, Bank Indonesia tidak akan merespon penaikan bunga acuan the Fed dengan menaikkan BI 7-days reverse repo rate (7DRRR). Menurut Sekretaris Perusahaan BNI Ryan Kiryanto, bank sentral Indonesia akan memilih untuk menyesuaikan instrumen lain.

“Misalnya Giro Wajib Minimum (GWM), yang kemungkinan akan naik secara perlahan dengan melihat kondisi likuiditas perbankan nanti,” terang Ryan dalam diskusi bertema Workshop Digital Banking BNI, Kamis, 22 Desember 2016.

Selain itu, Ryan juga memprediksi BI akan lebih memperkuat kebijakan makroprudensial seperti pengetatan loan to value (LTV). Ryan menjelaskan, langkah-langkah yang mungkin dilakukan BI tersebut untuk mengantisipasi pukulan atas dampak penaikkan suku bunga acuan the Fed kepada sektor keuangan dan perbankan.

“Pertumbuhan perbankan juga akan terjaga, sehingga laju pertumbuhan kredit bisa berlanjut dengan baik dan tetap sehat,” katanya.

Sepanjang tahun 2016, bank sentral telah menurunkan GWM Primer dalam rupiah sebesar 1 persen menjadi 6,5 persen. Kebijakan ini untuk menjaga agar likuiditas di perekonomian cukup untuk mendorong pertumbuhan kredit lebih lanjut. Dengan penurunan GWM Primer itu pun maka akan ada tambahan likuiditas sebesar Rp34 triliun ke pasar.

Kredit Perbankan

Atas beberapa faktor di atas, Ryan menyampaikan, pertumbuhan kredit perbankan tahun 2017 bisa lebih baik dari tahun ini. Prediksi Ryan, kredit bisa naik mencapai hingga 11 persen ketimbang single digit tahun 2016.

"Tahun depan ada potensi pertumbuhan kredit akan menginjak double digit. Mungkin kalau 11 persen saja rasanya masih bisa," ujar Ryan.

Selain beberapa faktor yang telah disebutkan, Ryan juga melihat ada beberapa faktor pendorong lain seperti konsumsi rumah tangga yang bisa naik 5 persen, serta percepatan belanja pemerintah.

Saat pengumuman BI 7-day reverse repo rate terakhir, BI juga telah menetapkan beberapa risiko yang perlu diwaspadai. Di antaranya, risiko ekonomi dan keuangan global terkait ketidakpastian arah kebijakan yang akan ditempuh Amerika Serikat, terutama soal kebijakan fiskal dan perdagangan internasional.

BI juga mewaspadai risiko meningkatnya cost of borrowing di pasar keuangan blobal, sebagai dampak kencenderungan kenaikan bunga acuan the Fed pada 2017 yang lebih cepat. Selain itu, ada juga risiko inflasi terutama rencana penyesuaian administered prices.

Untuk itu, Bank Indonesia akan fokus pada beberapa kebijakan melalui pelonggaran kebijakan moneter dan makroprudensial, serta sistem pembayaran, dan memperkuat koordinasi kebijakan bersama pemerintah untuk mengelola likuiditas, menjaga inflasi yang rendah dan stabil. Juga memperkuat stimulus pertumbuhan, dan memastikan pelaksanaan reformasi struktural berjalan dengan baik, sehingga mampu menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Hingga Oktober 2016, transmisi melalui jalur kredit masih belum optimal, terlihat dari pertumbuhan kredit yang masih terbatas sejalan dengan permintaan yang masih lemah, termasuk permintaan investasi dari korporasi yang belum kuat. Pertumbuhan kredit Oktober 2016 tercatat sebesar 7,5 persen, atau lebih rendah jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 10,3 persen.