Berita / / Artikel

Efek Berganda Gas Bumi Terjangkau, Industri Sumbang 18% PDB

• 01 Nov 2016

an image
Petugas memeriksa fasilitas di Onshore Receiving Facilities Tambak Lorok milik PT Kalimantan Jawa Gas di Semarang. Sejak 2015, anak perusahaan PGN tersebut telah memasok gas dengan pipa sepanjang lebih 200 km lintas laut dari Lapangan Gas Kepodang di Laut Utara Jawa ke PLTU Tambak Lorok, Semarang

Selain itu, sebanyak 76 persen ekspor Indonesia berasal dari sektor industri.

Bareksa.com - Ketersediaan gas bumi dengan harga terjangkau bagi industri dinilai dapat memberikan efek berantai untuk perekonomian Indonesia secara luas. Maka dari itu, pemerintahan Jokowi-JK berupaya untuk menyediakan gas yang murah bagi sektor industri.

Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian, sektor industri telah menyumbang 18,33 persen dari Penerimaan Domestik Bruto pada semester I-2016. Selain itu, sebanyak 76 persen ekspor Indonesia berasal dari sektor industri.

Sebesar 43 persen investasi baik PMA dan PMDM juga berasal dari sektor industri. Selain itu, sebanyak 13,5 juta tenaga kerja bekerja di sektor industri.

“Dari tenaga kerja, industri besar sudah mempekerjakan 4 juta tenaga kerja, yang sedang 700 ribu tenaga kerja, yang kecil 2,3 juta tenaga kerja, dan yang mikro 6,5 juta tenaga kerja,” kata Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto pada 26 Oktober 2016.

Meningkatnya investasi ke sektor industri memberikan harapan besar bagi perekonomian. Untuk semakin mendorong hal tersebut, kini pemerintah tengah menggodok langkah-langkah untuk merealisasikan harga gas bumi murah bagi industri di Indonesia.

Mengapa harus gas? Ternyata sejumlah industri cukup tergantung pada gas sebagai bahan bakunya. Namun hingga sekarang, harga gas di Indonesia masih dianggap cukup mahal jika dibandingkan harga di negara tetangga lainnya, seperti Thailand dan Malaysia.

Berdasarkan presentasi Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Indonesia, Luhut Binsar Panjaitan, harga gas hulu (upstream) di Indonesia mencapai US$5,9 per per million metric british thermal unit (MMBTU), lebih mahal dibandingkan di negara tetangga. Harga gas hulu di Thailand hanya sebesar US$5,5/MMBTU, bahkan di Malaysia harga upstream gas hanya sebesar US$4/MMBTU.

Tabel: Perbandingan Harga Gas Indonesia, Malaysia dan Thailand

Sumber: Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Indonesia

Dengan harga yang cukup tinggi tersebut, industri Indonesia terancam kalah saing dibandingkan dengan industri serupa di negara tetangga. Bila dirinci lebih jauh, sejumlah industri yang memakan banyak gas -- tidak hanya sebagai energi tetapi juga bahan baku -- harus menghadapi kisaran harga yang cukup tinggi.

Seperti terlihat di dalam tabel, harga gas sangat bervariasi bergantung pada industri dan lokasinya. Menurut data Kemenko Maritim dan Sumber Daya, industri tekstil dan alas kaki harus menghadapi harga gas dalam kisaran yang paling tinggi, yakni US$12-16/MMBTU. Meskipun demikian, industri pupuk juga harus mengeluarkan biaya gas yang tidak seragam, dengan batas atas harga yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan harga di negara tetangga. (Baca juga: Sebelum Jonan Dilantik, Luhut Siapkan Skenario Penurunan Harga Gas Industri)

Padahal, Luhut menilai sejumlah industri dalam negeri bisa memberikan nilai tambah yang cukup tinggi bagi perekonomian Indonesia.  “Anda lihat sendiri harga di industri. Anda bisa lihat harga gas yang tinggi di tiga industri utama yaitu pupuk, petrokimia dan baja. Padahal tiga industri ini bisa memberikan nilai tambah tinggi sekali,” ujarnya di depan analis pada 13 Oktober 2016.

Tabel: Harga Gas Industri Per Juli 2016

Sumber: Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Indonesia

Sebagai contoh, industri pupuk sangat bergantung pada harga gas. Menurut laporan tahunan PT Pupuk Indonesia (Persero), badan usaha milik negara (BUMN) produsen pupuk yang mempekerjakan lebih dari 10.000 sumber daya manusia, dijelaskan bahwa bahan baku gas mencakup 70 persen dari total komponen biaya produksi pupuk.

Pada tahun 2015, beban pokok pendapatan Pupuk Indonesia meningkat 5,21 persen, terutama disebabkan karena naiknya harga bahan baku utama produksi pupuk yaitu gas.

Sementara untuk tahun 2016, Pupuk Indonesia memproyeksi beban pokok pendapatan meningkat hingga 17,56 persen dibanding dengan realisasi tahun 2015 karena rencana penjualan dan adanya kenaikan HPP yang salah satunya disebabkan oleh kenaikan harga gas.

Terlebih, industri ini tengah menghadapi tantangan besar dengan hadirnya era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), dimana pupuk impor akan bebas masuk ke pasar Indonesia.

Negara-negara produsen pupuk lainnya diuntungkan dengan harga gas yang kompetitif, yaitu berkisar antara US$1 sampai US$4 per MMBTU. Sedangkan harga gas untuk industri pupuk nasional berkisar pada harga US$6 sampai US$8 per MMBTU.

Contoh lainnya adalah pada industri keramik, pada produsen keramik yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) PT Arwana Citramulia Tbk (ARNA), biaya gas mencapai 40 persen dari seluruh biaya produksi. Hal ini disebutkan dalam riset CIMB yang sudah dibagikan kepada nasabah.

Begitu besarnya pengaruh harga gas membuat setiap penurunan atau kenaikan harga gas sangat mempengaruhi keuntungan dari perusahaan. "Setiap penurunan harga gas sebesar US$1/MMBTU, perkiraan laba bersih tahun 2016 ARNA akan naik sebesar 20 persen, dengan asumsi kondisi lain tetap sama," demikian tertulis dalam riset CIMB tersebut.

Tabel: Perkiraan Peningkatan Laba ARNA 2016 seiring Penurunan Harga Gas

Sumber: Riset CIMB

Sementara itu, PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) sebagai produsen baja terbesar nasional yang juga BUMN juga sangat bergantung pada harga gas untuk meningkatkan daya saing di level internasional. Direktur Utama Krakatau Steel,  Sukandar menegaskan, bahwa harga gas saat ini memakan biaya produksi sekitar 51 persen.

Padahal, Krakatau Steel punya rencana besar jika harga gas turun ke level US$3 per MMBTU dari saat ini US$7,3 MMBTU. Sukandar mengatakan, kapasitas pabrik baja setengah jadi Krakatau Steel mencapai 2,5 juta ton per tahun.

"Jika dua pabrik itu beroprasi, impor slab dan billet bisa dipangkas. Devisa yang bisa dihemat sekitar US$1 miliar, dengan asumsi harga slab dan billet US$400 per ton," ujarnya kepada Bareksa.

Maka dari itu, gas yang terjangkau bagi industri pada akhirnya bisa memberikan efek berganda (multiplier effect) yang mendorong perekonomian Indonesia.

Tags: