Bareksa.com- Pemerintah masih mempertimbangkan langkah-langkah dalam merealisasikan ambisi untuk menjadikan harga gas bumi murah bagi industri di Indonesia. Langkah-langkah tersebut diungkapkan dalam presentasi Luhut Binsar Panjaitan selaku pejabat sementara Menteri Energi dan Sumber Daya Negara pada Kamis malam 13 Oktober 2016, sebelum Presiden Joko Widodo melantik Ignasius Jonan.
Hingga sekarang, harga gas di Indonesia masih dianggap cukup mahal jika dibandingkan harga di negara tetangga lainnya, seperti Thailand dan Malaysia.
Berdasarkan presentasi Luhut, harga gas hulu (upstream) di Indonesia mencapai US$5,9/MMBTU, lebih mahal dibandingkan di negara tetangga. Harga gas hulu di Thailand hanya sebesar US$5,5/MMBTU, bahkan di Malaysia harga upstream gas hanya sebesar US$4/MMBTU.
Tabel: Perbandingan Harga Gas Indonesia, Malaysia dan Thailand
Sumber: Presentasi ESDM
Sementara itu, harga gas industri di Indonesia masih sangat tinggi, bahkan pada industri tekstil dan alas kaki mencapai US$12-16 MMBTU, seperti yang terlihat pada tabel berikut ini. (Baca juga: Harga Gas Indonesia Selangit, Realisasi Perpres Jokowi Ditunggu Industri)
Tabel: Harga Gas Industri Per Juli 2016
Sumber: Presentasi ESDM
Beberapa opsi penurunan harga gas bumi untuk industri pun mulai dipersiapkan, mewujudkan Peraturan Presiden No. 40/2016 dan aturan turunannya Peraturan Menteri ESDM No. 16/2016 yang sudah diterbitkan. Skenario ini sebagai pertimbangan untuk memutuskan harga gas.
Dalam acara analyst meeting yang dihadiri oleh sekitar 25 orang, Pelaksana Tugas Menteri ESDM, Luhut Binsar Panjaitan menyampaikan lima langkah untuk beberapa opsi penurunan harga gas bumi untuk industri.
Yang pertama adalah dengan menekan cost recovery, pada tahun 2016 ini ditargetkan cost recovery tidak boleh lebih dari US$10,4 miliar dolar. Angka tersebut lebih kecil 33,6 persen jika dibandingkan pengeluaran tahun lalu.
"Nomor satu ini jadi obsesi saya. Saya minta cost recovery harus dipotong tahun ini menjadi tidak lebih dari US$10,4 miliar. Apa yang harus dipotong ada macam-macam dan akan kita lihat. Yang penting adalah pengawasan," ujarnya.
Pengeluaran harus ditekan, mengingat tahun 2015, cost recovery ini lebih tinggi daripada realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Biaya yang harus diganti pemerintah untuk eksplorasi dan produksi kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) justru mencapai US$13,9 miliar, atau lebih besar US$1,04 miliar dari PNBP yang hanya US$12,86 miliar .
Selain itu, efisiensi juga diperlukan di bagian hulu, yang mencakup 60 persen biaya yang membentuk harga gas. Bersamaan dengan itu, biaya transmisi dan biaya distribusi masing-masing memiliki porsi sebesar 22 dan 18 persen.
“Kalau anda lihat, komponen gas paling mahal itu adalah 60 persen di hulu," ungkap Luhut.
Tidak efisiennya biaya di hulu juga pernah disampaikan oleh Amien Sunaryadi, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Amin mencontohkan bahwa harga gas di hulu akibat waktu operasional kontraktor yang lebih panjang di Indonesia dibandingkan dengan di negara tetangga. (Baca juga: "Harga Gas Indonesia Lebih Mahal dari Malaysia Karena Markup")
Langkah kedua adalah penurunan bagian penerimaan pemerintah dalam bentuk pajak dan non pajak. Bagian pemerintah ini juga membentuk biaya cost recovery sehingga dengan adanya penurunan, harga gas hulu bisa ditekan.
Ketiga, efisiensi biaya transmisi termasuk tarif menggunakan pipa (tol fee), penguapan gas alam cair setelah transportasi (regasifikasi), dan proses pencairan gas sebelum diangkut (likuifikasi).
Keempat, Luhut juga menyebutkan efisiensi dilakukan dalam proses distribusi, yakni penyaluran gas ke konsumen akhir. Caranya adalah dengan menghilangkan berbagai lapisan dalam distribusi gas, termasuk trader gas yang tidak memiliki infrastruktur pipa gas. "Trader yang hanya punya kertas akan kita hilangkan," ujarnya.
Grafik: Struktur Gas Dalam Negeri
Sumber: Presentasi ESDM
Kelima, pemerintah akan membuat pembagian wilayah atau zonasi supply demand gas di Indonesia. Dengan zonasi ini, pemerintah diharapkan dapat memangkas biaya transportasi gas sehingga menekan harga gas di konsumen akhir.
Rencananya, pasokan gas di Indonesia Timur akan difokuskan untuk memenuhi kebutuhan gas di wilayah tersebut. Demikian juga dengan sumber gas di Indonesia Barat dan Tengah. Baru selanjutnya, harga gas ditetapkan untuk tiap zona.
Selama ini, wilayah barat Indonesia memang mendapatkan pasokan gas dari kilang gas alam cair Proyek Tangguh, Papua. Hal ini lantaran produksi gas di Indonesia Barat tidak cukup besar, sementara pusat konsumsi gas justru berada di wilayah ini. Akibatnya, industri pengguna gas di Medan dan sekitarnya harus membeli dengan harga tinggi.
Jika rencana ini direalisasikan, maka Indonesia pertama kalinya akan mengimpor gas. Di sisi lain, kelebihan produksi gas di Indonesia Timur disebutnya bisa saja diekspor jika memang tidak terserap oleh domestik. Namun, konsep ini masih akan dimatangkan oleh pemerintah. (hm)