Bareksa.com - Emiten tambang batu bara PT Adaro Energy Tbk (ADRO) semakin dekat mewujudkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berkapasitas 2x1.000 megawatt di Batang, Jawa Tengah seiring dengan penyelesaian pendanaan untuk megaproyek senilai US$4,2 miliar itu. Hal ini diprediksi memberi dampak positif bagi perusahaan karena PLTU yang akan dibangun itu menggunakan batu bara sebagai bahan bakar utama.
Setidaknya, ini akan menambah volume penjualan batu bara domestik ADRO yang saat ini tengah dilanda ketidakpastian penjualan di pasar global. Hal ini juga seiring dengan ambisi untuk memperbesar porsi kontribusi bisnis pembangkit listrik terhadap income perseroan, setara dengan bisnis pertambangan batu bara dan logistik.
"Saat ini bisnis tambang batu bara masih dominan dengan EBITDA (laba sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi) berkontribusi sekitar 55 persen kepada perseroan, sisanya dari logistik dan power plant. Ke depan, kami ingin tiga pilar itu berkontribusi seimbang," ujar Presiden Direktur ADRO Garibaldi Thohir di depan wartawan 9 Juni 2016.
Selama ini, perusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki Grup Saratoga ini memang lebih banyak mengandalkan penjualan ekspor dalam operasionalnya. Di tahun 2015, berdasarkan data perusahaan, pasar domestik hanya menyerap 20 persen penjualan ADRO sementara pasar ekspor menyerap sisanya yakni 78 persen. Secara kuantitas, penjualan domstik pada 2015 hanya 11 juta ton sementara sisanya 40,4 juta ton dijual ke pasar ekspor.
Pasar ekspor terbesar adalah China dengan penjualan 8,1 juta metrik ton, diikuti oleh India sebesar 6,9 juta metrik ton dan Jepang 5,3 juta metrik ton. Sayangnya, beberapa tahun terakhir ini terjadi pelemahan permintaan pasar batu bara internasional, sehingga dikhawatirkan perusahaan tambang yang mengandalkan ekspor batubara akan mengalami tekanan penjualan.
Buktinya, penjualan batubara Adaro ke India (pasar ekspor kedua terbesar) yang pada tahun 2015 turun 20 persen menjadi hanya 6,9 juta metrik ton dari sebelumnya 8,6 juta metrik ton. Penjualan ke Jepang juga turun 22 persen menjadi 5,3 juta metrik ton dari sebelumnya 6,8 juta metrik ton. Menurut manajemen perusahaan, penurunan penjualan ke India salah satunya disebabkan karena utilisasi pembangkit listrik bertenaga batu bara yang lebih rendah dari perkiraan. Pada saat yang sama, produksi batu bara domestik di India sendiri mengalami peningkatan di tahun 2015.
Grafik: Penjualan Batu Bara Adaro Berdasarkan Lokasi
sumber: PT Adaro Energy Tbk
Sementara itu, permintaan dari pasar ekspor utama Adaro yakni China juga diprediksi turun di masa mendatang. Dalam laporan tahunannya, manajemen menyadari adanya transisi perekonomian China dari yang sebelumnya bergantung pada sektor industri ke sektor jasa. Ini diprediksi akan memperlambat pertumbuhan konsumsi energi di negeri tirai bambu. Selain itu, melemahnya mata uang yen dan upaya pemerintah China untuk melindungi industri batubara domestik juga dikuatirkan akan menurunkan impor batubara di negara tersebut.
Sejak munculnya ketidakpastian pasar batubara global, pasar domestik sangat diharapkan bisa menjadi andalan. Apalagi, pemerintahan Joko Widodo mencanangkan proyek penambahan kapasitas 35.000 MW hingga tahun 2025 mendatang, dimana 60 persen pembangkit yang akan dibangun merupakan pembangkit listrik bertenaga batu bara. Jika berjalan, megaproyek ini akan mengerek permintan batubara domestik beberapa tahun ke belakang kurang bergairah.
Sejak tahun 2012, pertumbuhan penjualan dalam negeri ADRO tidak berkembang signifikan, malah cenderung stagnan. Permintaan domestik yang masih kecil memang sekedar memenuhi domestic market obligation (DMO) dan selama ini belum dapat tumbuh pesat karena belum banyak pembangkit listrik yang beroperasi menggunakan bahan bakar batu bara. Di tahun 2015 penjualan domestik hanya 11 juta ton, turun dari tahun 2014 sebesar 12,5 juta ton. Hadirnya PLTU Batang, memberi harapan kepada ADRO agar bisa meningkatkan penjualan di dalam negeri dan mengurangi risiko ketidakpastian kondisi pasar global.
Pada website resmi Bhimasena disebutkan bahwa Adaro Energy adalah perusahaan yang dipastikan memasok batubara PLTU Batang, yang diklaim akan menjadi PLTU terbesar di Asia Tenggara. Berdasarkan data PLN, PLTU Batang akan membutuhkan pasokan batubara sebanyak sekitar 9,11 juta metrik ton setiap tahun, meski manajemen memperkirakan kebutuhan sekitar 8 juta metrik ton. Oleh sebab itu pasca beroperasi, PLTU Batang diperkirakan akan mengerek total penjualan domestik Adaro sebesar 82 persen menjadi 20,11 juta metrik ton, naik drastis dari pendapatan domestik 2015 yang hanya 11 juta metrik ton.
Grafik: Penjualan Domestik ADRO
sumber: Laporan Tahunan, diolah Bareksa
Beroperasinya PLTU Batang juga berpotensi mengerek kontribusi penjualan batu bara domestik menjadi 32 persen dari total penjualan Adaro -- dengan asumsi volume penjualan tetap sama dengan panduan tahun ini sekitar 52-54 juta metrik ton setahun. Sementara itu, kontribusi ekspor berpotensi turun dari tahun 2015 sebesar 80 persen, menjadi 62 persen dari total penjualan. Namun, potensi ini baru dapat dinikmati setelah proyek selesai pada 2019 dan mungkin bisa memberikan kontribusi signifikan pada keuangan tahun 2020.
Adapun keberlanjutan proyek PLTU Batang diperoleh setelah PT Bimasena Power Indonesia (BPI) mendapat komitmen pendanaan dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC) dan sindikasi sembilan bank komersial sebesar $3,4 miliar (setara Rp44,2 triliun) untuk mengerjakan proyek tersebut. ADRO memiliki 34 persen saham Bhimasena melalui anak usahanya yakni PT Adaro Power. (Baca juga: ADRO Dapat Pinjaman Sindikasi dari Bank Korea untuk Proyek PLTU)