Bareksa.com - Hal menarik terjadi pada perubahan peta politik Indonesia sejak penghujung 2015 hingga hari ini. Sejumlah partai yang selama kurang lebih satu tahun menyatakan oposisi, perlahan merapat satu per satu kepada pemerintah yang berkuasa.
Dukungan dimulai dari Partai Amanat Nasional (PAN) yang bergabung ke pemerintah pada September 2015 dan kemudian diikuti dengan masuknya Partai Persatuan dan Pembangunan (PPP) pada Januari 2016. Terakhir, 16 Mei 2016 partai Golongan Karya (Golkar) secara resmi menyatakan keluar dari Koalisi Merah Putih (KMP) dan berbalik mendukung pemerintah Joko Widodo.
Praktis, tiga partai tersebut menambah kekuatan suara pemerintah Jokowi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Apalagi, hadirnya Golkar yang memiliki perolehan kursi terbesar di DPR bisa mendongkrak keberpihakan parlemen pada pemerintah saat ini. Dengan tambahan dukungan tersebut, Jokowi kini didukung 69,2 persen kursi DPR. Padahal, saat awal dilantik sebagai presiden, Jokowi hanya didukung 37 persen kursi.
Masuknya tiga partai ini sebenarnya sudah diprediksi berbagai kalangan sejak jauh-jauh hari. Sebab, tiga partai yang baru pindah haluan ini belum memiliki cukup pengalaman berada di luar pemerintahan (oposisi). Secara historis, pasca reformasi, Golkar PAN dan PPP selalu menempel pada pemerintah pusat.
Grafik: Peta Dukungan Partai Kepada Pemerintah
Sumber: Riset Bareksa.com
Dalam masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, Golkar, PAN dan PPP menjadi pendukung kabinet Gotong Royong dengan total suara sebesar 45,8 persen kursi DPR. Dengan kehadiran mereka pada saat itu, total kursi yang mendukung pemerintah mencapai 94,35 persen di parlemen. Selanjutnya di 2004, saat masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tiga partai ini juga kompak mendukung Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Kondisi ini juga berlanjut sampai periode kedua kepemimpinan SBY di 2009-2014.
Kekuatan suara dari tiga partai ini cukup besar jika disatukan. Pada 2014 misalnya, total kursi dari tiga partai ini mencapai 32,1 persen, hampir mendekati koalisi partai pendukung pemerintah yang hanya 37,1 persen. Hal ini menyebabkan betapa kuatnya posisi partai oposisi pada satu tahun pertama pemerintahan Jokowi.
Dengan bergabungnya tiga partai kuat ini, maka diharapkan pembahasan kebijakan pemerintah di DPR akan lebih mulus dan tidak banyak terhambat. Sebagaimana diketahui, dengan dukungan minimal dari DPR, pemerintah cukup kesulitan untuk menetapkan kebijakan.
Contohnya, pada pembahasan rancangan undang-undang (RUU) Pengampunan Pajak (tax amnesty). Pemerintah awalnya berharap RUU Tax Amnesty bisa selesai dan segera disahkan pada Maret 2016. Namun karena berbagai hal, pembahasan RUU Pengampunan Pajak malah molor. Hingga saat ini RUU tersebut masih belum disahkan. Padahal, RUU ini dianggap penting oleh pemerintah karena bisa mendongkrak penerimaan pajak. (Baca juga: Kinerja Positif Jokowi-JK Tanpa Dukungan DPR Akhirnya Menarik Minat Partai)