Bareksa.com – Kejaksaan Agung mencekal Direktur Utama PT Perusahaan Gas Negara (PGAS) Hendi Prio Santoso terkait dugaan korupsi pembangunan Float Storage Regassification Unit (FSRU) Lampung. Akibatnya harga saham PGAS pada Jumat lalu, 15 mei 2016, terkoreksi hampir tiga persen.
Bagaimana sebetulnya kronologi proyek FRSU Lampung? Berikut penjabarannya;
FSRU merupakan terminal terapung yang dilengkapi fasilitas untuk merubah gas alam cair (LNG/liquefied natural gas) menjadi gas bumi --disebut regasifikasi--. Terminal ini juga memiliki fasilitas penyimpanan LNG. Gas yang telah diangkut dengan kapal kargo dari sumbernya dalam bentuk LNG, akan diubah menjadi gas bumi di FSRU yang kemudian disalurkan melalui pipa gas milik PGAS kepada konsumen.
Proyek FSRU di Lampung ini sebetulnya proyek kedua yang dilakukan setelah PGAS sukses mengembangkan FSRU di Jawa Barat. Terminal yang dibangun oleh Hyundai Heavy Industri Korea ini berlokasi di Labuhan Maringgai, Lampung dengan kapasitas penyimpanan LNG sebesar 170 ribu m3 dan batas pengiriman mencapai 240 juta kaki kubik gas per hari (MMFSCD). Awalnya, FSRU ini direncanakan dibangun di Belawan, Medan, namun kemudian dipindahkan ke Lampung.
Terminal ini telah dioperasikan sejak November 2014 oleh anak usaha PGAS, PT PGN LNG (PLI) yang didirikan pada Juni 2012. Sumber gas alam untuk FSRU ini berasal dari kilang di Indonesia Timur yaitu Blok Tangguh. Sementara fasilitas FSRU disewa dari perusahaan patungan antara PT Rekayasa Industri (Rekin) dengan Hoegh – perusahaan konstruksi asal Norwegia. Kontrak sewa ini berlangsung selama 20 tahun dengan opsi perpanjangan untuk dua periode masing-masing 5 tahun.
PGAS mulai menjual 49,68 MMSFCD gas hasil regasifikasi dari FSRU Lampung ke PLN yang dialirkan ke PLTGU Muara Tawar Bekasi bulan November 2014. Namun per Januari 2015, kontrak jual beli gas itu tidak dilanjutkan. PLN yang kala itu berkomitmen menyerap gas dari FSRU Lampung untuk kebutuhan pembangkit listriknya menginginkan renegosiasi pembelian harga gas yang dianggap kemahalan. Rendahnya harga minyak dunia membuat harga gas yang telah disepakati di awal menjadi lebih mahal dibandingkan bahan bakar minyak dan batu bara sehingga PLN meminta renegosiasi.
Akibatnya selama tujuh bulan FSRU Lampung 'mangkrak' padahal biaya sewa tetap dikenakan. Penghentian penyerapan gas oleh PLN ini memicu ambrolnya volume penyaluran gas dari FSRU Lampung menjadi 3.943.799 MMBTU sepanjang tahun 2015. Padahal tahun lalu hanya dalam periode November - Desember volume penyaluran dapat mencapai 6.606.516 MMBTU.
Grafik: Kinerja Pengiriman Gas Bumi PT PGN LNG (dalam MMBTU)
Sumber: PGN, diolah Bareksa
Buntutnya, LSM Energy Watch Indonesia melaporkan adanya indikasi kerugian negara di PGAS kepada Kejaksaan Agung tahun lalu. LSM ini menganggap PGAS tidak menerapkan manajemen risiko sehingga kerugian diperkirakan mencapai US$250 juta. Biaya untuk membangun menara sandar kapal US$100 juta dan pembangunan jaringan pipa lepas pantai US$150 juta terkait proyek ini dianggap terlalu mahal. Ditambah lagi, terdapat kerugian operasional --termasuk biaya sewa FSRU-- per bulannya yang mencapai US$7 juta.
Dari sinilah Kejaksaan Agung menindaklanjuti dengan mencekal Hendi Prio ke luar negeri selama masa pemeriksaan berlangsung.