Proyek Listrik 35.000 MW Baru Tercapai 0,6%, Kenapa?

Bareksa • 13 May 2016

an image
Pekerja melakukan pengecekan mesin pembangkit listrik di PLTGU Tanjung Priok, Jakarta (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Pembebasan lahan menjadi isu utama selain faktor perizinan.

Bareksa.com - Megaproyek pembangunan pembangkit listrik baru berkapasitas 35.000 megawatt selama lima tahun memiliki tujuan agar masyarakat Indonesia hingga ke seluruh pelosok bisa menikmati listrik. Meski tujuan tersebut mulia, kenyataannya tidak mudah mewujudkan proyek yang diperkirakan membutuhkan dana sekitar US$73 miliar dalam lima tahun.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), per April 2016 kapasitas pembangkit listrik yang sudah dibangun hanya 223 MW, atau sekitar 0,6 persen dari total target. Dari angka tersebut, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN sudah membangun 220 MW dan 3 MW sisanya adalah miliki swasta (independent power plant, IPP).

Pembangkit listrik dalam program 35.000 MW yang sudah siap beroperasi ada tiga dan semuanya terletak di Sulawesi, yaitu: PLTM Taludaa (IPP) 3 MW, PLTG Gorontalo Peaker (PLN) 4 x 25 MW, dan PLTG MPP Amurang (PLN) 120 MW.

Grafik: Kemajuan Proyek Pembangkit Listrik 35.000 MW

Sumber: Kementerian ESDM

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jarman mengakui bahwa sejauh ini masalah pembebasan lahan masih menjadi hambatan untuk percepatan proyek 35.000 MW tersebut. Akan tetapi, mengingat bahwa proyek ini penting bagi pertumbuhan ekonomi nasional maka pemerintah pun berupaya mengimplementasikan UU No. 2/2012, dan menerbitkan Perpres 3 & 4 Tahun 2016 yang merupakan solusi bagi masalah itu.

"Peraturan yang ada diharapkan dapat mengatasi masalah pembebasan lahan tersebut, sehingga dari aspek legalitas sudah ada hukumnya. Sejauh ini belum dibutuhkan peraturan lain, kita lihat dulu kemajuannya," ujarnya dalam Diskusi Terbatas yang dihadiri sejumlah media pada Kamis, 12 Mei 2016.

Direktur Utama PLN Sofyan Basir menjelaskan bahwa sejauh ini pembebasan lahan masih menjadi kendala utama dalam percepatan pembangunan pembangkit listrik. Menurut data PLN, isu pembebasan lahan mencapai 72 persen dari masalah keterlambatan proyek adalah.

"Sementara kami laksanakan dulu UU 2/2012 dan Perpres 3 dan 4/2016. Dengan aturan itu, masalah pembebasan lahan seperti yang terjadi di Sarulla Sumatra sudah terhambat 7 tahun bisa selesai, PLTU Batang 4,5 tahun bila selesai dan transmisi jalur di Jawa 5 tahun bisa selesai," katanya.

Selain itu, Sofyan menjelaskan PLN pun sekarang bisa membeli lahan tidak hanya berpatok pada nilai jual obyek pajak (NJOP) tetapi bisa sesuai dengan harga pasar atau harga beli yang layak. "Bila ada penjual yang sulit melepas dengan harga pasar, bisa dituntut ke pengadilan tetapi memakan waktu lagi hingga 12 bulan."

Sofyan, yang juga mantan direktur utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk itu, menjelaskan bahwa memang tidak mudah untuk mencapai target rasio elektrifikasi -- perbandingan daerah yang sudah mendapat aliran listrik dan wilayah nasional -- sebesar 97,3 persen pada 2019 dari 88,3 persen saat ini. Pasalnya, butuh waktu pembangunan yang semakin lama bila ingin membangun kapasitas semakin besar.

"Untuk PLTU berkapasitas besar seperti 1.000 MW dibutuhkan waktu sedikitnya 48 bulan hanya untuk konstruksi. Bila ditambah proses tender dan pengadaan butuh waktu 3-5 tahun. Memang kelihatannya baru sedikit yang beroperasi tetapi kita sekarang masih dalam proses," katanya.

Menanggapi soal kontroversi dari tubuh kabinet sendiri, termasuk Menko Maritim Rizal Ramli, yang mempertanyakan relevansi target proyek tersebut, Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki menjelaskan bahwa saat ini pemerintah fokus pada proyek 35.000 MW ini sebagai salah satu bentuk infrastruktur.

"Proyek ini sudah diputuskan oleh Presiden sehingga harus menjadi komitmen pemerintah, tidak hanya Kementerian ESDM yang berkaitan tetapi juga Kementerian Lingkungan Hidup, Pemerintah Daerah. Prosesnya memang tidak selalu mulus tetapi sekarang kan sudah tidak gaduh lagi," ujar Teten.

Pendanaan Proyek

Dari total kapasitas 35.000 MW pembangkit listrik yang akan dibangun, sekitar 71 persen akan didanai oleh pihak swasta (IPP). Para investor swasta ini nantinya bisa menjual listrik kepada PLN dengan skema Power Purchase Agreement (PPA). Untuk mempersingkat prosedur pembangunan, PLN pun sebelum memberikan tender sudah menetapkan syarat yang cukup tinggi yaitu kebutuhan modal sang investor.

Kecukupan modal awal (project development account) yang dimiliki oleh investor sebesar 10 persen dari total proyek. "Hal ini untuk memastikan proyek berjalan dan PPA itu tidak diperjualbelikan. Para peserta tender harus punya kelas, punya modal dan kapasitas," katanya.

PLN sendiri akan menyiapkan sejumlah sumber dana berupa obligasi, laba ditahan dan pinjaman. Berkaitan dengan pinjaman, PLN sudah memiliki sejumlah kreditur potensial dari negeri asing dengan total pinjaman US$28,10 miliar dan 1,65 miliar euro. Kreditur potensial itu termasuk CDB (US$10 miliar), CEXIM (US$5 miliar) dan JICA (US$5 miliar).

Tabel: Potensi Pinjaman untuk Proyek Pembangkit Listrik PLN

Sumber: PLN

"Pinjaman kami sebagian mendapat jaminan pemerintah sehingga bunga lebih murah dan para kreditur aman terjamin dari kredit macet atau NPL. Dukungan dari pemerintah ini berupa kebijakan bukan hanya berupa rupiah," kata Sofyan.

Di sisi lain, PLN juga baru menyelesaikan revaluasi aset yang memberikan ruang lebih besar untuk mencari pinjaman. Menurut Sofyan, aset PLN bisa meningkat dua kali lipat menjadi Rp1.180 triliun. "Dengan nilai itu, kami bisa mencari pinjaman sebanyak Rp1.800 hingga Rp2.000 triliun lagi," katanya.