Kisruh RS Sumber Waras: Audit BPK Selalu Akurat? Inilah Datanya

Bareksa • 21 Apr 2016

an image
Ketua BPK RI Harry Azhar Aziz (kanan) bersama Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi (kiri) menunjukan surat pemanggilan klarifikasi Pajak saat memberikan keterangan kepada wartawan tentang klarifikasi pajak atas Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak penghasilan 2015 di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Jumat (15/4). Klarifikasi Surat Pemberitahuan Pajak (SPT

Audit BPK atas laporan keuangan Petral 2012-13 menyatakan tidak ada indikasi kerugian negara. Petral kini dibubarkan.

Bareksa.com – Perseteruan antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas hasil audit investigasi pengadaan tanah untuk Rumah Sakit (RS) Sumber Waras masih belum juga usai. Ahok menuding hasil audit tersebut ngawur dan menyesatkan. Sebaliknya, BPK meyakini hasil audit mereka sudah benar dan memang menemukan pelanggaran peraturan serta kerugian negara ratusan miliar rupiah.

Apakah audit BPK selalu benar dan akurat?

Indonesian Corruption Watch (ICW) punya sejumlah catatan terhadap hasil audit BPK sejak 2005 sampai dengan sekarang. Menurut Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas kepada Bareksa, berdasarkan hasil eksaminasi ICW, hasil audit BPK tidak selalu akurat. “Audit BPK selalu benar? Masa iya? Auditor (BPK) juga manusia sehingga hasil auditnya tidak selalu baik,” katanya.

Audit investigasi pengadaan tanah RS Sumber Waras salah satu yang dinilai ICW kesimpulannya lemah dan tidak akurat. BPK menggunakan acuan Peraturan Presiden (Perpres) No. 71/2012 yang mengatur perencanaan, pembentukan tim, penetapan lokasi, studi kelayakan dan konsultasi publik sebagai prosedur pengadaan lahan.

Padahal, kata Firdaus, sudah ada Perpres No. 40/2014, regulasi baru yang merupakan perubahan keempat dari Perpres No. 71/2012. Dalam Pasal 121 Perpres 40/2014 tersebut disebutkan bahwa demi efisiensi dan efektivitas, maka pengadaan tanah dengan luas di bawah 5 hektare dapat dilakukan pembelian langsung antara instansi yang memerlukan dan pemilik tanah.

Adanya kerugian negara yang disebut BPK sekitar Rp190 miliar juga dinilai ICW tidak tepat karena auditor negara itu menggunakan data NJOP 2013 sebesar Rp12,2 juta per meter persegi. Padahal, Pemprov DKI Jakarta menggunakan NJOP tahun 2014 sebesar Rp20,7 juta per meter persegi, lantaran mengacu pada sertifikat lahan yang berlokasi di Jl. Kyai Tapa.  Berdasarkan dokumen yang dimiliki ICW, seperti sertifikat Hak Guna Bangunan, histori perpajakan, zonasi pajak dan Pajak Bumi Bangunan, RS Sumber Waras memang berlokasi di Jl. Kyai Tapa dengan NJOP Rp 20,7 juta per meter persegi.

“Kesimpulan hasil audit dibuat oleh BPK dengan tidak hati-hati dan tidak memperhatikan perkembangan fakta hukum dan tidak memperhatikan common practice dalam bisnis. Nampaknya, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) untuk RS Sumber Waras dan dilanjutkan dengan audit investigasi; bermasalah baik dasar hukum, metode analisis, dan perbandingan yang digunakan, sehingga menghasilkan temuan dan kesimpulan yang jomplang dan melompat,” kata Firdaus.

Sekjen Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Yenny Sucipto mengatakan, hasil audit BPK atas RS Sumber Waras memang bisa diperdebatkan. Untuk itu, kata dia, ”Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus bisa membuktikan apakah benar ada kerugian negara atau unsur korupsi di sana.”

Selain audit Sumber Waras, kata Firdaus, ketidakakuratan audit BPK juga terjadi pada audit Hambalang dan APBD Bekasi. Llihat tabel di bawah.

Tabel: Beberapa Audit BPK yang Dinilai Janggal oleh ICW

Sumber: ICW

Berdasarkan penelusuran Bareksa, di luar data yang disebut ICW, ada juga hasil audit BPK yang layak dipertanyakan karena antara hasil pemeriksaan berbeda dengan kenyataan, seperti Laporan Keuangan Provinsi Sumatera Utara (Sumut) periode 2014 yang diberi opini wajar tanpa pengecualian (WTP) oleh BPK. Faktanya, Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho ditahan oleh KPK karena diduga menyuap anggota DPRD terkait persetujuan laporan pertanggungjawaban APBD 2012-14.

“Itu tidak terlalu mengejutkan, karena sudah menjadi rahasia umum opini WTP bisa diperjualbelikan,” ujar Yenny dari FITRA.

Begitu pula audit BPK terhadap laporan keuangan 2012-13 milik PT Pertamina Trading Energy Limited (Petral). Hasil audit BPK menyebutkan tidak ada indikasi kerugian negara oleh Petral. Padahal, Tim Reformasi Migas pimpinan ekonom Faisal Basri meyakini Petral telah lama menjadi sarang mafia migas. PT Pertamina sebagai pemilik Petral lantas menyewa Kordamenta (auditor asal Australia) untuk melakukan audit forensik terhadap Petral. Audit Kordamenta menemukan adanya berbagai penyimpangan dalam operasional Petral. Pada pertengahan 2015 pemerintah akhirnya membubarkan Petral.

Menurut Yenny, agar temuan-temuan BPK dalam sejumlah audit bisa dibuktikan benar atau tidak, peran DPR sangat penting sebagai pengawas auditor negara tersebut. “DPR harus meminta tindak lanjut audit atas temuan-temuan BPK, misalnya meminta audit khusus.”

Sampai artikel ini diturunkan, juru bicara BPK Yudi Ramdan belum merespons pertanyaan Bareksa melalui pesan singkat. Namun sebelumnya, Kepala Direktorat Utama Perencanaan, Evaluasi, dan Pengembangan Keuangan Negara BPK Bachtiar Arif, seperti dikutip Kompas.com, menyatakan dalam setiap proses audit, lembaganya selalu melihat fakta dan kriteria. Data yang didapat dari fakta kemudian dibandingkan dengan kriteria yang ditetapkan. “Proses seperti itu diterapkan dalam semua audit BPK, termasuk audit Sumber Waras.” (kd)