MARKET FLASH: WIKA Tunda Obligasi; Target Marketing Sales APLN Rp3,5 Triliun

Bareksa • 22 Feb 2016

an image
Menteri PUPR Basuki Hadimuljono (kedua kiri) dan Menteri BUMN Rini M Soemarrno (tengah) saling bertumpu tangan dengan (dari ki-ka) Direktur Utama Wijaya Karya (WIKA) Bintang Perbowo, Direktur Pengelolaan Pertamina Rachmad Hardadi dan Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto saat penandatanganan MoU Pertamina dan WIKA di Jakarta. ANTARA FOTO/Teresia M

MDKA dapat pinjaman sindikasi US$130 juta; Pemerintah selektif berikan PMN untuk BUMN

Bareksa.com - Berikut sejumlah berita korporasi dan pasar modal yang dirangkum dari surat kabar nasional:

Rencana PMN

Kementerian BUMN sedang mempertimbangkan untuk mengurangi jumlah BUMN yang diusulkan menerima penyertaan modal negara (PMN) pada APBN Perubahan 2016. Menteri Rini Soemarno mengatakan sejauh ini baru empat BUMN yang dipertimbangkan menerima PMN, yaitu Bulog, PLN, Jamkrindo dan Askrindo.

Kemungkinan PMN tersebut hanya sedikit sekali karena pemerintah berencana membuat program terkait leveraging. Namun, Rini belum merinci kemungkinan tersebut. Semula, pemerintah mengusulkan PBM senilai total Rp34,31 triliun untuk 23 BUMN dalam APBN 2016.

PT Wijaya Karya Tbk (WIKA)

WIKA berencana menunda penerbitan obligasi sebagai salah satu sumber pendanaan pada tahun ini. Direktur Keuangan WIKA Adji Firmantoro mengatakan kebutuhan dana sudah tercukupi dari pinjaman bank. Adapun belanja modal tahun ini sebesar Rp10 triliun.

Perusahaan konstruksi milik negara ini masih memiliki fasilitas pinjaman bank belum terpakai Rp3 triliun. Padahal pinjaman itu sudah diperoleh sejak tahun lalu. Persiapan pendanaan dilakukan untuk menghadapi kemungkinan tidak menerima penyertaan modal negara (PMN) dari pemerintah tahun ini.

PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN)

APLN menargetkan pra penjualan (marketing sales) unit properti sekitar Rp3 - 3,5 triliun tahun ini. Angka tersebut turun drastis dari target tahun lalu Rp6,5 triliun, meski di atas realisasi 2015.

Manajemen menyebutkan perkiraan realisasi tahun lalu hanya 50 persen dari target akibat lesunya pasar. Per September 2015, APLN baru membukukan marketing sales Rp1,74 triliun.

PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA)

MDKA melalui anak usahanya PT Bumi Suksesindo memperoleh pinjaman sindikasi bank senilai US$130 juta. Pinjaman itu diberikan oleh tiga bank internasional, yaitu BNP Paribas cabang Singapura, HSBC Ltd cabang Jakarga dan Societe Generale Asia Ltd cabang Hong King.

Pinjaman senior itu akan digunakan untk membiayai pengembangan proyek mineral emas dan perak di wilayah Tujuh Bukit, Banyuwangi, Jawa Timur. Perusahaan tambang terafilasi Grup Saratoga ini telah meneken perjanjian pada akhir pekan lalu.

PT Tiphone Mobile Indonesia Tbk (TELE)

TELE menargetkan kenaikan pendapatan 30 persen menjadi Rp26 triliun pada tahun ini dibandingkan dengan perkiraan pendapatan tahun lalu Rp20 triliun. Laba bersih tahun ini juga diharapkan naik menjadi Rp442 miliar dari estimasi Rp300 miliar tahun lalu.

Sekretaris Perusahaan TELE Semuel Kurniawan mengatakan penjualan voucher isi ulang pulsa seluer diperkirakan tetap menjadi penyumbang terbesar, sekitar 77 persen dari pendapatan Rp20 triliun. Kontributsi pendapatan lainnya adalah penjualan handset, termasuk telepon pintar.

Relaksasi Aturan Mineral

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah memasukkan usulan di revisi aturan untuk membuka keran ekspor ore alias mineral mentah semua komoditas. Usulan tersebut tertuang dalam Naskah Akademik Revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) versi Pemerintah, berkerjasama dengan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), dan Universitas Indonesia.

Menteri Energi Sudirman Said menyatakan, relaksasi ekspor mineral mentah sudah masuk dalam Naskah Akademik UU Minerba, dan saat ini masih terus dibahas melalui Focus Group Discussion (FGD) dengan asosiasi pertambangan dan Perhapi. Relaksasi ekspor mineral muncul karena banyak fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) tidak selesai pada 2017 nanti yang merupakan batas akhir ekspor mineral mentah.