Berita / / Artikel

Kebijakan Suku Bunga Negatif, Latar Belakang dan Efeknya

• 03 Feb 2016

an image
Gubernur Bank Sentral Jepang, Haruhiko Kuroda

Suku bunga negatif belum terbukti dapat mengatasi masalah perekonomian

Bareksa – Pada Jumat lalu (29 Januari 2015) bank sentral Jepang (Bank of Japan/BOJ) memutuskan menurunkan suku bunga acuannya menjadi minus 0,1 persen mengikuti langkah bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) yang telah lebih dulu menerapkan suku bunga deposito negatif pada 2014.

Menurut pandangan umum, suku bunga negatif berarti nasabah yang menyimpan uangnya di bank, bukannya mendapat bunga, justru nasabah itu diharuskan membayar. Begitu pula dengan lembaga keuangan yang menaruh uangnya di bank sentral .

Sistem suku bunga negatif Jepang yang akan berlaku pada 16 Februari 2016 akan mengenakan suku bunga minus 0,1 persen terhadap dana yang disimpan lembaga keuangan pada bank sentral. Namun tidak semua dana dikenakan bunga negatif. Bunga negatif hanya akan dikenakan terhadap kelebihan dana pada ‘basic balance’ dan ‘macro-add on balance’ (lihat tabel).  

Tabel: Pengenaan Bunga Terhadap Dana Yang Disimpan di Bank Sentral Jepang

Sumber: Bank of Japan, Bareksa.com

Negara dengan suku bunga negatif

Sebelum Jepang menerapkan suku bunga negatif, beberapa negara di dunia telah menganut kebijakan ini. Di antaranya Swiss, Swedia, Denmark serta Uni Eropa.

Bank sentral Eropa menurunkan suku bunga deposito menjadi minus 0,1 persen pertama kali pada Juni 2014 dan terakhir pada Desember 2015 lalu menjadi minus 0,3 persen. Kebijakan bunga negatif yang diambil Mario Draghi yang kala itu menjabat sebagai gubernur ECB didasari rendahnya inflasi, tingginya tingkat pengangguran dan rendahnya pertumbuhan ekonomi.

Grafik: Negara Dengan Suku Bunga Negatif

Sumber: tradigeconomics.com, Bareksa.com

Apa yang menyebabkan Jepang menerapkan suku bunga negatif?

Secara umum, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan inflasi, bank sentral di dunia biasanya melakukan pelonggaran moneter dengan memotong suku bunganya. Namun suku bunga acuan di Jepang telah berada di level 0 persen.

Sejak Jepang menerapkan kenaikan pajak konsumen, inflasi Jepang terus turun dan pada Desember 2015 lalu menyentuh angka 0,2 persen year-on-year, padahal target inflasi Jepang pada 2015 sebesar 2 persen.   

Grafik: Inflasi Tahunan Jepang Year-on-Year

Sumber: tradingeconomics.com

Selain masalah deflasi, Jepang juga berkutat dengan pertumbuhan ekonomi. Perekonomian Jepang pernah mencatatkan pertumbuhan negatif pada kuartal I-2015, sedangkan pada kuartal III-2015 pertumbuhan ekonomi Jepang naik tipis 1,6 persen year-on-year. Pemerintah Jepang menyiratkan pertumbuhan ekonomi pada Desember 2015 akan melemah sehingga memicu bank sentral Jepang mengambil langkah ini.

Grafik: Pertumbuhan Ekonomi Jepang Year-on-Year

Sumber: tradingeconomics.com

Apa efek suku bunga negatif?

Dampak jangka pendek keputusan BOJ ini memberi sentimen positif bagi pasar saham Jepang. Bursa saham Jepang langsung melonjak dan nilai tukar Yen terhadap Dolar AS langsung turun.

Namun, menurut Macquarie dalam laporan risetnya, kebijakan bank sentral dengan suku bunga negatif dan quantitative easing belum terbukti dapat mengatasi masalah perekonomian seperti inflasi dan pertumbuhan ekonomi meskipun pelonggaran moneter tersebut akan membuat mata uang menjadi lebih murah yang dapat membantu pertumbuhan ekonomi.

Jana Randow dari Bloomberg menulis secara teori suku bunga negatif dapat mengurangi bunga pinjaman dan meningkatkan permintaan akan kredit/pinjaman. Namun pada praktiknya, ada risiko bahwa kebijakan ini malah akan berbahaya. Nasabah akan lebih memilih menyimpan uangnya di rumah daripada di bank yang dapat mengakibatkan bank kekurangan likuiditas. Janet Yellen pada 2013 juga pernah menyebutkan bahwa kebijakan suku bunga nol akan berdampak bagi pasar uang karena menganggu pendanaan lembaga keuangan/bank. Selain itu, juga ada risiko perang mata uang (currency wars), di mana negara berlomba-lomba melemahkan mata uangnya demi mengejar pertumbuhan seperti yang dikemukakan oleh ekonom Deutsche Bank.

 

 

 

Tags: