Bareksa.com - Pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan segera merilis aturan mengenai investasi surat berharga negara (SBN) bagi lembaga jasa keuangan non-bank (Asuransi & Dana Pensiun). Dalam aturan tersebut, disebutkan bahwa asuransi jiwa wajib menempatkan dana pada surat berharga negara (SBN) sebesar 30 persen dari seluruh jumlah investasi perusahaan. Perusahaan asuransi umum dan reasuransi paling rendah 20 persen dari seluruh jumlah investasi. Sementara bagi dana pensiun pemberi kerja, paling rendah 30 persen dari seluruh investasi.
Penerbitan aturan ini sejalan dengan rencana pemerintah untuk menerapkan strategi Front Loading SBN pada semester I-2016. Front Loading merupakan strategi mempercepat penerbitan surat berharga negara pada awal tahun, yang dikhawatirkan akan menarik likuiditas dari pasar keuangan.
"Kalau pemerintah akan melakukan front loading, jadi artinya mengeluarkan SBN lebih awal untuk pembiayaan anggaran, tentu akan menarik likuiditas," ujar Gubernur BI Agus Martowardojo kepada media 22 Januari 2016.
Pertanyaannya, seberapa ketat tingkat likuiditas perbankan pasca sejumlah langkah yang dilakukan pemerintah awal tahun ini?
Berdasar pada data OJK, dana yang disimpan oleh Asuransi & Dana Pensiun di deposito mencapai Rp134 triliun. Dana tersebut berkisar 15 - 50 persen dari total investasi yang dilakukan Asuransi & Dapen. Tapi jika dilihat dari sisi perbankan, dana tersebut hanya 8 persen dari total dana deposito yang terhimpun di bank umum dalam negeri sebesar Rp1.756 triliun.
Jika 30 persen dari deposito Asuransi & Dana Pensiun (Rp40 triliun) pindah ke SBN, maka deposito milik Asuransi dan Dapen masih tersisa sebesar Rp94 triliun. Dengan asumsi jumlah deposito selain Asuransi & Dana Pensiun tidak berubah, maka perpindahan dana ini akan membuat total deposito yang tersimpan di bank berkurang menjadi Rp1.662 triliun.
Grafik: Perubahan Tingkat Likuiditas Perbankan
sumber: BI, OJK, diolah Bareksa
Walhasil, tingkat likuiditas perbankan memang akan menurun sedikit. Rasio kredit terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR) berpotensi naik menjadi 90,9 persen dari sebelumnya 88,81 persen (berdasar data OJK Agustus 2015). Hal tersebut terjadi dengan asumsi bahwa total kredit yang disalurkan bank tidak berubah.
Walaupun melompat naik, tapi rasio yang menggambarkan seberapa ketat atau longgarnya likuiditas perbankan tersebut masih di bawah ketentuan BI. Berdasarkan ketentuan BI, batas atas LDR berada pada 92 persen. Artinya, dengan meningkatnya LDR menjadi 90,9 persen, bank masih tetap memiliki ruang untuk menyalurkan kredit.
Kekhawatiran mengenai ketatnya likuiditas juga ditepis oleh Dumoly F. Pardede, Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non Bank II OJK. Menurut dia, berpindahnya dana Asuransi & Dapen ke SBN tidak akan mengeringkan likuiditas bank. "Pemerintah tak mungkin menyimpan di kantong sendiri, nantinya hasil penerimaan SBN akan disimpan lagi di bank," ujar Dumoly kepada Bareksa Selasa, 26 Januari 2015.
Selain itu, dana yang diterima pemerintah dari penerbitan SBN juga akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Rahmat Waluyanto justru memandang bahwa hal tersebut berpotensi menambah tingkat likuiditas.
“Tergantung apakah uang itu (SBN) akan digunakan atau tidak. Kalau kemudian diambil dari pasar tapi tak digunakan (oleh pemerintah) pasti likuiditas akan ketat. Tapi kalau digunakan oleh pemerintah untuk pembiayaan infrastruktur dan belanja barang, itu justru akan menambah likuiditas,” ujarnya dalam Seminar UMKM dari Rakyat untuk Rakyat di Jakarta, Senin 25 Januari 2016.