Benarkah BUMN Bakal Dihisap Pajaknya Melalui Revaluasi Aset?

Bareksa • 30 Dec 2015

an image
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengikuti rapat kabinet terbatas bidang perekonomian di Kantor Kepresidenan (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)

Kebijakan ini dikritik cuma jalan pintas berjangka pendek, tapi akan merugikan untuk jangka panjang.

Bareksa.com - Mengikuti jejak bank lain, PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) juga merevaluasi asetnya guna memanfaatkan insentif pajak yang diberikan pemerintah. Kepada media, Direktur Utama Bank BTN Maryono menyampaikan nilai aset banknya kini telah bertambah menjadi Rp1,3 triliun setelah direvaluasi.

Sebelumnya, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) juga merevaluasi aset menjadi Rp12,2 triliun, dari sebelumnya hanya Rp4,2 triliun. PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) pun membukukan kenaikan nilai aset Rp23 triliun dari langkah serupa.

Toh demikian, langkah ini belakangan banyak disoroti karena di sisi lain membuat bank-bank tersebut harus mengeluarkan biaya pajak tambahan.

Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), menjelaskan bahwa kebijakan revaluasi aset sebetulnya datang dari Kementerian BUMN. Tujuan awalnya adalah untuk meningkatkan modal BUMN sehingga mempermudah ekspansi melalui utang. "Ini sebetulnya jadi seperti simbiosis mutualisme. Kementerian Keuangan memperoleh pendapatan pajak dan kinerja Kementerian BUMN menjadi positif karena ada keringanan pajak," kata Prastowo kepada analis Bareksa.

Bagi sektor perbankan, khususnya, langkah revaluasi akan meningkatkan rasio kecukupan modal (CAR) bank sehingga dapat meningkatkan penyaluran kredit. Berdasarkan data Bareksa, sejak 2012 nilai CAR ketiga bank ini mulai menyusut akibat tingginya permintaan kredit dari masyarakat. Bahkan, CAR Bank BTN sempat berada di bawah level 15 persen pada 2014. Alhasil, pada 2014 lalu BTN hanya mampu menggenjot kenaikan kredit 15 persen, padahal tahun sebelumnya masih mencatat pertumbuhan kredit 20 persen.

Grafik: CAR BNI, Bank Mandiri dan BTN Tahun 2012 - Kuartal III 2015

Sumber: Bareksa.com

Namun, BTN jadi harus menanggung pajak akibat kenaikan nilai asetnya. Maryono menjelaskan BTN harus merogoh kocek untuk membayar pajak penghasilan (PPh) sekitar Rp40 miliar. Nilai ini berkisar 3 persen dari laba yang diperoleh BTN sepanjang Januari-September 2015.

Merugikan di jangka panjang

Bagi pemerintah, sebetulnya kebijakan ini hanya akan membantu penerimaan pajak dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, sebetulnya merugikan. Pasalnya, peningkatan nilai aset juga mendorong kenaikan beban depresiasi. Akibatnya laba sebelum pajak bank jadi mengecil. Tentunya, ini akan memperkecil pajak penghasilan.

Melihat laporan keuangan per kuartal III 2015, BTN mencatat beban depresiasi senilai Rp140 miliar untuk rata-rata nilai aset Rp1,4 triliun. Beban depresiasi tersebut mencapai 8 persen dari laba sebelum pajak BTN sepanjang Januari-September 2015 yang mencapai Rp1,73 triliun. Dengan mengasumsikan akun lainnya tetap, maka kenaikan aset tetap Rp1,3 triliun itu dapat membuat beban depresiasi meningkat dua kali lipat. Impaknya, akan menggerus laba sebelum pajak BTN sekitar Rp140 miliar menjadi sekitar Rp1,59 triliun.

Berdasarkan data historis, rata-rata beban pajak penghasilan BTN mencapai 28 persen dari laba sebelum pajak, maka jika dikalkulasi dengan asumsi di atas maka BTN hanya akan membayar beban pajak sekitar Rp440 miliar. Ini turun sekitar 14 persen dari beban pajak dalam laporan keuangan per kuartal III 2015 yang Rp512 miliar.

Prastowo mewanti-wanti sebaiknya pemerintah tidak menyelesaikan masalah anggaran dengan jalan pintas jangka pendek karena impaknya akan negatif di masa mendatang. Dia mendesak agar segera ditempuh langkah mereformasi anggaran dengan melakukan efisiensi pada pos-pos pengeluaran.

Menurutnya, pemerintah harusnya tidak terus ngotot mematok target pertumbuhan penerimaan pajak tahun depan di angka sekitar 30 persen. Ini karena dalam hitungan Prastowo, secara alamiah daya tumbuh penerimaan pajak Indonesia hanya berkisar 15 persen. (Baca juga: Versi Menkeu Capaian Pajak Bersejarah Vs Ekonom Lihat APBN Jebol. Mana Benar?) (kd)