Bareksa.com - Skandal rekaman permintaan saham PT Freeport Indonesia yang mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla semakin memanas. Setelah Ketua DPR Setya Novanto "diperiksa" oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), politikus Partai Golkar ini kabarnya akan dilaporkan ke polisi.
Luput dari pembahasan media, juga terungkap dari rekaman itu, bahwa Setya Novanto dan Muhammad Riza Chalid (pengusaha minyak pemilik Petral) tidak hanya meminta saham Freeport Indonesia. Dua serangkai ini juga meminta bagian saham di perusahaan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Urumuka. Membawa-bawa nama Menko Polhukam Luhut Pandjaitan, tak tanggung-tanggung mereka meminta jatah 49 persen saham.
Menjadi pertanyaan, kenapa PLTA Urumuka itu juga ikut dibidik? Apa motif bisnis di baliknya?
Ferdinandus Hasiman, peneliti PT Alpha Research Database Indonesia menulis kolom menarik di sebuah surat kabar. Dia menerangkan bahwa cadangan terbesar tambang Freeport Indonesia ada di bawah tanah (underground). Ini sekitar 93 persen dari keseluruhan cadangan. Hanya 7 persen yang ada di tambang terbuka. Menurut perkiraan kasar, tambang Freeport Indonesia akan menghasilkan 24.000 metrik ton per hari di masa transisi dari open pit ke underground pada 2016 nanti.
Nah, PLTA Urumuka itulah yang bakal menyuplai listrik ke tambang underground Freeport.
Potensi keuntungannya jelas menggiurkan. Dan ini diendus Setya Novanto dan Riza Chalid. Selama ini sejumlah perusahaan lokal sudah mencicipi legitnya berbisnis dengan Freeport.
Salah satu perusahaan publik yang pernah berbisnis dengan Freeport Indonesia adalah PT AKR Corporindo Tbk (AKRA). Sepanjang 2011-2013, AKRA yang mendistribusikan bahan bakar minyak ke wilayah operasi di wilayah tambang Freeport itu mendulang sekitar 10 persen pendapatannya dari Freeport Indonesia. Bahkan, pada tahun 2011 AKRA membukukan pendapatan dari Freeport sebesar Rp2,6 triliun atau setara dengan 11,8 persen total pendapatannya dalam setahun.
Grafik: Kontribusi Pendapatan AKRA dari PT Freeport Indonesia
Sumber: Laporan Keuangan AKRA
Perusahaan lain yang pernah berbisnis dengan Freeport Indonesia adalah PT Indika Energy Tbk (INDY). INDY meraup pendapatan dari kontrak Freeport Indonesia di kisaran 6-7 persen dari total pendapatan sepanjang 2011-2014. Pada 2014, perusahaan jasa migas itu mencatatkan pendapatan US$65,78 juta dari Freeport Indonesia atau 5,9 persen total pendapatannya setahun.
Grafik: Kontribusi Pendapatan INDY dari PT Freeport Indonesia
Sumber: Laporan Keuangan INDY
Sejak 2010 hingga saat ini, pengembangan PLTA Urumuka--berkapasitas 300 megawatt--masih menggantung. Proyek yang dikabarkan membutuhkan dana investasi Rp14 triliun itu awalnya dibangun oleh Pemerintah Provinsi Papua. Salah satu mantan gubernurnya sudah ditetapkan sebagai tersangka karena diduga terlibat korupsi. Tuduhan korupsi itu terkait dengan lelang Detailed Engineering Design (DED) yang disebut-sebut fiktif dengan peserta lelang jadi-jadian. Akibatnya, negara dirugikan sekitar Rp31 miliar.
Tertera di sebuah artikel di situs Kementerian ESDM, PLTA yang terletak di Kabupaten Paniai ini dibangun untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat Papua, di mana sebagian listrik yang dihasilkan akan dibeli Freeport Indonesia.
Diungkapkan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Dr. Jannes Johan Karubaba di sebuah seminar di Jayapura, Freeport Indonesia membutuhkan listrik sekitar 200 megawatt untuk mendukung operasi pertambangan di wilayahnya. Ditaksir, pajak asli daerah yang dihasilkan dari pembelian ini saja mencapai sekitar Rp1-2 triliun. “Jika PLTA ini dibangun dan PT Freeport Indonesia membeli listrik dari PLTA Urumuka, maka ini sangat menguntungkan,” kata Jannes. (kd)