Bareksa.com – Skandal rekaman permintaan saham PT Freeport Indonesia terus mengibas ke mana-mana. Tak cuma menguak keterlibatan Ketua DPR RI dari Partai Golkar Setya Novanto dan baron minyak Muhammad Riza Chalid, perkara gawat ini juga ikut menyeret-nyeret nama Menko Politik, Hukum dan Keamanan Jenderal TNI (purn) Luhut Binsar Pandjaitan. Dalam transkrip rekaman yang kini beredar luas, diberitakan nama Luhut disebut-sebut dalam percakapan Setya Novanto, Riza Chalid, dan Direktur Utama Freeport Indonesia Marsda TNI (purn) Maroef Sjamsoeddin.
Namun demikian, di luar sengkarut soal Freeport itu, Luhut sudah lama menggeluti bisnis tambang.
Dia adalah pemilik 99,98 persen perusahaan tambang batubara bernama PT Toba Sejahtera. Perusahaan ini memiliki dua anak perusahaan di bidang tambang batubara, yakni PT Toba Bara Sejahtera Tbk (TOBA) dan PT Kutai Energi.
Toba Bara sendiri memiliki cadangan batubara sekitar 147 juta ton melalui tiga anak usahanya, yakni PT Adimitra Baratama Nusantara (ABN), PT Trisensa Mineral Utama (TMU) dan PT Indomining (IM).
ABN dan TMU telah berdiri sejak tahun 2004 sedangkan IM pada 2005. Akan tetapi, IM baru mulai berproduksi pada tahun 2007. Sementara, ABN mulai berproduksi satu tahun setelahnya. Kala itu, TMU sama sekali belum melakukan produksi secara komersial. Di tahun 2010, Toba Bara baru mengakuisisi 51 persen ABN, 52,5 persen saham IM dan 51 persen saham TMU. Di tahun 2011 TMU mulai berproduksi.
Pada tahun 2012, Toba Bara meningkatkan kepemilikan saham di IM dan TMU masing-masing menjadi 99,99 persen. Pertumbuhan volume produksi Toba Bara sepanjang tahun 2008-2014 mengesankan, yakni rata-rata 47,1 persen per tahun. Baru pada sembilan bulan pertama di tahun 2015 ini volume produksinya ambrol 29,7 persen dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya; menjadi hanya 4,5 juta ton. Ini akibat merosotnya permintaan batubara global yang tercermin dari penurunan harga jual batubara perusahaan.
Grafik: Produksi Batubara Tahunan PT Toba Bara Sejahtera (TOBA)
Sumber: Presentasi Perusahaan
Grafik: Indeks Harga Batu Bara Dunia
Sumber: Presentasi Perusahaan
Guna mempertahankan kinerja tambang batubaranya, Toba Bara melakukan efisiensi dengan menurunkan stripping ratio – perbandingan volume masa lapisan tanah penutup dengan batubara yang diambil. Semakin kecil stripping ratio, semakin kecil pula biaya operasi yang dikeluarkan perusahaan batubara.
Hal ini tercermin dari peningkatan rasio marjin laba kotor. Sepanjang Januari-September 2015 marjin laba kotor Toba Bara meningkat menjadi 19,2 persen dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya yang hanya 17,1 persen. Namun demikian, secara nominal laba kotor Toba Bara tetap merosot 21,8 persen menjadi $51,9 juta.
Yang menarik, laporan kinerja Toba Bara menunjukkan bahwa pada tahun ini kontribusi konsumen batu bara yang termasuk dalam kategori end user atas produk batubara–mayoritas adalah perusahaan pembangkit listrik–meningkat. Dari total volume penjualan selama sembilan bulan pertama tahun ini, konsumen end user ini berkontribusi sebesar 35 persen. Semakin banyak kerjasama dengan end user membuat volume penjualan Toba Bara bisa menjadi lebih stabil.
Grafik: Kontribusi Konsumen Terbesar Toba Bara
Sumber: Presentasi Perusahaan
Sementara itu, Toba Sejahtera, induk usaha Toba Bara, juga tercatat memiliki investasi di dua pembangkit listrik yakni PT Pusaka Jaya Palu Power (PJPP) dan PT Kartanegara Energi Perkasa (KEP).
PJPP membangun PLTU Tawaeli di Sulawesi Tengah dengan kapasitas 2 x 13,5 MW yang beroperasi pada tahun 2007. PLTU ini berekspansi dengan tambahan kapasitas 2 x 15 MW yang dioperasikan pada awal tahun 2015. Listrik yang dihasilkan dijual ke PLN dengan kontrak selama 25 tahun sejak tahun 2007.
Sedangkan KEP mengoperasikan PLTG Senipah 2 x 41 MW di Kalimantan Timur. Sama seperti PJPP, KEP juga menjual hasil listriknya ke PLN.
Namun, dalam sebuah wawancara dengan Bareksa, Direktur Toba Bara, Pandu Sjahrir, mengungkapkan tingkat pengembalian investasi dari usaha pembangkit listrik selama ini kecil, dan hal ini menjadi hambatan utama bagi pembangunan pembangkit listrik di Indonesia. Padahal, dia melihat bahwa potensi permintaan batubara dalam negeri bisa meningkat jika pembangunan pembangkit listrik di Indonesia digenjot. Menurut Pandu, 40 sampai 60 persen pemenuhan listrik dari target 35.000 MW pemerintah diharapkan berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar batubara. (Baca juga: Pandu Sjahrir: "Bangun Pembangkit Listrik Seperti Program CSR, Tidak Menarik.") (kd)