Bareksa.com - Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama tiga kuartal 2015 tercatat di bawah 5 persen. Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli meyakini ekonomi Indonesia tersebut sudah mencapai titik terendahnya (bottom) dan berpotensi naik lagi. Hal itu diungkapkan Rizal dalam acara DBS Asian Insight Conference 2015 hari ini (Selasa, 24/11)
Perekonomian Indonesia tahun depan, kata Rizal, bisa bertumbuh 6 – 6,5 persen. Dalam dua tahun ke depan ditargetkan mengalahkan India dan Filipina yang tumbuh lebih dari 7 persen.
Agak berbeda dengan Rizal, pengusaha Sofjan Wanandi justru pesimistis dan memperkirakan pertumbuhan ekonomi 5 persen pada 2016. Begitu pula dengan Ekonom Raden Pardede yang memperkirakan 5 persen dan menilai saat ini terjadi stagnasi global. Negara maju, kata Raden, masih mengalami perlambatan, misalnya pertumbuhan ekonomi Jepang negatif bahkan China pun melambat. Negara berkembang yang berbasis komoditas ikut anjlok termasuk Indonesia.
Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menurut Raden, salah satu caranya dengan meningkatkan Foreign Direct Investment (FDI) dan efisiensi ekonomi dengan pengalokasian sumber daya ke bidang yang produktif, seperti manufaktur dan pertanian.
Target penerimaan pajak terlalu tinggi
Target penerimaan pajak pemerintah tahun ini tergolong sangat ambisius. Dalam APBN-P 2015, target penerimaan pajak pemerintah naik 29,9 persen dari realisasi 2014. Beberapa analis juga telah mengingatkan akan adanya tax shortfall yang dikhawatirkan akan berpengaruh pada realisasi program pemerintah.
Raden Pardede menyatakan manakala ekonomi sedang lemah, jumlah pajak per kapita atau tax per GDP tidak akan naik. Karena ketika ekonomi turun, penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) juga akan turun.
Dia mengkritisi transfer daerah dengan formula 28 persen terhadap APBN-P. Pemerintah daerah, katanya, akan kelebihan uang sedangkan pemerintah pusat malah kekurangan dana. Akibatnya salah satu dari dua pos pemerintah harus dikurangi. Pos tersebut belanja rutin dan belanja modal (capex). Belanja rutin tentunya tidak dapat dikurangi, sehingga belanja modal kemungkinan akan berkurang. Oleh karena itu, penting untuk melakukan efektifitas pengeluaran pemerintah, kata Raden.
Nasib Rupiah ke Depan dan BI rate
Sementara itu, ekonom DBS Gundy Cahyadi memperkirakan nilai tukar Rupiah kemungkinan besar dapat kembali ke level Rp 14.000 per US$. Pergerakan mata uang Rupiah akan berada di tengah-tengah karena Yen dan Euro melemah, sedangkan Dollar AS menguat. Hal ini terkait kebijakan pemerintah AS yang akan meningkatkan Fed rate, berkebalikan dengan kebijakan Jepang dan negara Eropa yang cenderung membanjiri uang di pasar dengan program stimulusnya.
Namun, menurut Raden Pardede, dengan sistem pasar terbuka seperti saat ini, Rupiah sulit untuk dikontrol. Negara sebesar apapun tidak bisa menjamin nilai tukar di titik tertentu. Maka yang harus dilakukan adalah melakukan lindung nilai.
Terkait suku bunga Bank Indonesia, Raden Pardede memperkirakan BI rate tidak akan naik meskipun Fed rate naik 50 basis poin (bps). Kenaikan atau penurunan BI rate akan bergantung pada current account deficit dan inflasi.