Bareksa.com - Menjelang Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 17 November 2015 nanti, isu penurunan BI rate (suku bunga acuan) mulai ramai. Di satu sisi, inflasi Indonesia tercatat cukup rendah, bahkan Oktober lalu, Indonesia mencatatkan deflasi 0,08 persen month-on-month dan akhir tahun BI memperkirakan inflasi tahunan akan mencapai sekitar 3,6 persen.
Namun di sisi lain, sinyal bank sentral AS, The Fed, untuk menaikkan bunga pada Desember 2015 semakin kuat. Meskipun kurs Rupiah selama satu bulan terakhir relatif stabil, tapi sejak awal tahun Rupiah telah melemah 9,5 persen. (Baca juga : Fed Rate Disinyalkan Naik Desember 2015)
Penurunan BI Rate diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang terus menurun di bawah 5 persen. Kuartal ketiga 2015, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya tercatat 4,73 persen, jauh di bawah asumsi pemerintah dalam APBN-P sebesar 5,7 persen.
Berdasarkan data historis, semenjak BI menaikan suku bunga cukup tinggi pada kuartal III-2013, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia terus turun. Kenaikan BI Rate pada kuartal III-2013 mencapai 125 basis poin atau 1,25 persen. (Baca juga : Ramai Pelonggaran Moneter, Indonesia Kapan?)
Grafik Pertumbuhan Ekonomi dan Suku Bunga BI
Sumber : Bank Indonesia, Bareksa diolah
Sementara itu, pertumbuhan penjualan ritel bulanan di Indonesia yang mencerminkan belanja rumah tangga juga cenderung turun. Selain kelompok makanan sebagai kebutuhan pokok, penjualan ritel kelompok lain seperti non-pangan dan kelompok kendaraan cenderung menurun. Hal ini mengindikasikan daya beli masyarakat terutama untuk kebutuhan sekunder juga tertekan.
Oleh karena itu, BI perlu memberi stimulus untuk mengembalikan pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat.
Grafik Pertumbuhan Bulanan Penjualan Ritel
Sumber : Bank Indonesia, Bareksa diolah
Grafik Penjualan Riil Kelompok Food dan Non-Food
Sumber : Bank Indonesia
Grafik Penjualan Riil Kendaraan & Suku Cadang, Bahan Bakar Kendaran Bermotor
Sumber : Bank Indonesia