Berita / / Artikel

ADRO Dapat Pinjaman Sindikasi dari Bank Korea untuk Proyek PLTU

• 11 Nov 2015

an image
File aerial view photo of Adaro Energy's Tutupan coal mine near Banjarmasin in Indonesia's South Kalimantan province (REUTERS/Matthew Bigg)

Investasi Proyek Tanjung Power bernilai US$450 juta hingga US$550 juta

Bareksa.com - Perusahaan batu bara PT Adaro Energy Tbk (ADRO) akan mendapat pinjaman sindikasi dari bank asing untuk mendanai proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kalimantan, yang nilai investasinya ditaksir mencapai US$550 juta.

Direktur Adaro Energy, Syah Indra Aman menyatakan perseroan masih dalam proses finalisasi pinjaman untuk proyek tersebut. Adapun, produsen batu bara tersebut menargetkan untuk menyelesaikan proses pinjaman pada tahun ini.

“Nanti pinjamannya sindikasi beberapa bank. Bank dari Korea bertindak untuk membeli reassurance pinjaman,” ujarnya di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (10/11).

Adapun perseroan memiliki 65 persen saham di Tanjung Power Indonesia, entitas yang mengerjakan proyek PLTU dengan kapasitas 2x100 MW tersebut. Sementara itu, sisa 35 persen dipegang oleh investor asing, yaitu Korea East West Power. Untuk mewujudkan proyek PLTU itu dibutuhkan dana pinjaman sebanyak 75 persen, sedangkan sisanya sebesar 25 persen dari ekuitas.

Dalam perkembangan sejauh ini, telah dilakukan penandatanganan perjanjian jual beli listrik (PJBL) antara perseroan dengan PT PLN (persero) pada Oktober 2014. Proyek Tanjung Power ini merupakan salah satu dari tiga PLTU yang sedang dikerjakan perseoran, di samping Proyek PLTU Batang dan East Kalimantan Power Project.

Untuk proyek perseroan melalui anak usaha Bhimasena Power Indonesia, atau lebih dikenal dengan PLTU Batang, perseroan menargetkan konstruksi bisa selesai dalam jangka tiga tahun lagi. “Untuk Bhimasena atau PLTU Batang, ditargetkan bisa selesai konstruksi pada 2018,” ungkapnya.  

Tabel Proyek Pembangkit Listrik ADRO

Sumber: Perseroan

PLTU Batang 2X1000 MW merupakan proyek patungan Adaro Energy bersama dengan investor asal Jepang, J-Power dan Itochu. Proyek yang diklaim terbesar di Asia Tenggara senilai US$ 4 miliar tersebut telah menuntaskan PJBL dengan PLN selama 25 tahun.

Kinerja Keuangan

Dari sisi kinerja, Adaro Energy mencatatkan pelemahan dalam sembilan bulan pertama 2015 karena jebloknya harga komoditas batu bara akibat dari perlambatan ekonomi. Laba bersih setelah pajak turun 19 persen menjadi US$ 181 juta pada sembilan bulan pertama 2015 dari US$ 224 juta pada periode yang sama 2014 . Sementara itu, laba inti turun 21 persen menjadi US$ 228 juta.

Laba inti merepresentasikan laba perusahaan setelah pajak pendapatan, tidak termasuk komponen akuntansi non-operasional, yang terdiri atas US$ 54 juta amortisasi properti pertambangan, US$ 7 juta provisi pengembalian piutang lain-lain terkait investasi non-batubara dan pengeluaran US$ 1 juta terkait penyesuaian pajak di tahun sebelumnya.

“Saat ini profitabilitas Adaro sedang mengalami tekanan cukup kuat akibat harga batu bara yang terus menurun,” ujar Presiden Direktur Adaro Energy, Garibaldi Thohir belum lama ini.

Menghadapi pelemahan harga komoditas ini, perseroan pun sedang melakukan efisiensi salah satunya dengan menghemat belanja modal (capital expenditure). Pada tahun ini, ADRO hanya menganggarkan US$75 juta hingga US$125 juta untuk capex yang diutamakan bagi perawatan (maintenance). Angka tersebut jauh lebih rendah dibanding realisasi dua tahun terakhir sebesar US$185 juta pada 2013 dan US$165 juta tahun lalu.

Grafik Belanja Modal ADRO Lima Tahun Terakhir (dalam US$ juta)

Sumber: Perseroan

 

Tags: