Bareksa.com - Produsen batu bara PT Berau Coal Energy Tbk (BRAU) mengajukan usulan baru dalam rangka restrukturisasi utang gagal bayar senilai US$950 juta. Proposal tersebut dibuat melengkapi pengajuan sebelumnya kepada kreditor, di tengah ancaman tuntutan salah satu pemberi pinjaman di luar negeri terhadap induk usahanya.
Direktur Independen BRAU Arief Wiedhartono menjelaskan saat ini perseroan sedang melakukan audit dan membuat proyeksi kinerja untuk lima tahun ke depan, yang menjadi dasar bagi pengajuan opsi baru dalam penataan ulang utang. "Opsi proposal kita berharap yang terbaik, semoga tahun ini bisa selesai. Proposal sebelumnya juga menjadi pertimbangan," ujarnya setelah rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST) di Jakarta, 21 Oktober 2015.
Dalam proposal restrukturisasi awal, BRAU akan menerbitkan obligasi baru US$ 387,53 juta, yang akan jatuh tempo Juli 2019 dan digunakan untuk menukar obligasi senilai US$ 450 juta yang kadaluwarsa Juli 2015. BRAU juga akan menerbitkan obligasi baru senilai US$ 443,72 juta yang akan jatuh tempo pada Desember 2020 untuk menukar obligasi tahun 2017 senilai US$ 500 juta.
Selain itu, ada injeksi modal tunai dari Sinar Mas, sebagai penguasa mayoritas saham induk BRAU, yaitu PT Asia Resources Minerals Plc (ARMS), sebuah entitas yang tercatat di bursa London. ARMS saat ini memegang 84,74 persen kepemilikan di BRAU dan publik di pasar memiliki 15,26 persen sisanya.
Sementara itu, induk BRAU ini sedang mengalami perselisihan hukum dengan Raiffeisen Bank International AG. Bank asal Austria itu mengajukan tuntutan di British Virgin Islands, Karibia agar pengadilan melikuidasi Asia Coal Energy Ventures Ltd (ACE), afiliasi Sinarmas yang memegang kepemilikan ARMS. Kendaraan investasi Sinarmas itu dianggap mangkir terhadap pemberian utang senilai US$120 juta yang diteken Mei.
Dalam pernyataan pengadilan yang dikutip dari Bloomberg, ACE membayar hanya $50 juga dan memegang sisanya karena agunan untuk fasilitas itu hilang. Kasus itu diperdengarkan pada 16 September dengan Jaksa Barry Leon.
ACE membayar US$50 juta kepada Raiffeisen Bank pada awal tahun ini untuk mengakuisisi utang gagal bayar yang agunannya termasuk 23 persen saham di ARMS. Hal itu merupakan bagian penting dalam pengambilalihan Sinarmas di BRAU.
Menanggapi berita tersebut, Arief menjelaskan merupakan urusan pemegang saham sehingga manajemen BRAU tidak dapat berkomentar banyal. "Kalau tuntutan silahkan tanyakan dengan yang di London, itu juga jadi pertimbangan kami dan ada pembicaraan dengan ACE," katanya.
Perubahan Alokasi IPO
RUPST BRAU hari ini membahas beberapa agenda, termasuk perubahan alokasi sisa dana penawaran umum perdana (IPO). Perubahan sisa dana hasil IPO digunakan untuk mendukung pembelanjaan modal yang diperlukan guna menunjang rencana bisnis perseroan ke depan.
“Perubahan rencana penggunaan sisa dana IPO diperlukan untuk menyesuaikan kondisi bisnis kedepan dan akan difokuskan untuk pengembangan bisnis perseroan dengan mengedepankan efisiensi,” ujar Arief.
Menurut Arief, dana IPO BRAU hingga 30 September 2015 telah digunakan Rp722,32 miliar, sehingga masih ada sisa dana IPO sebanyak Rp 346 miliar yang akan dialokasikan penggunaannya pada penambahan modal kerja BRAU dan anak Perusahaan BRAU.
Sisa dana IPO digunakan pengembangan usaha, meliputi peningkatan kapasitas fasilitas pengolahan batubara, loading conveyor dan hauling road di Lati, Binungan, dan Sambarata, serta investasi penambahan 2 unit tug & barge sehingga total menjadi 8 unit tug & barge.
Dana pembelanjaan modal digunakan pula untuk pembangunan terminal batubara di Suaran sebesar Rp 69,45 miliar, pembangkit listrik tenaga batubara di Suaran Rp 5,03 miliar, dan pembelian fasilitas transhipper Rp 10,45 miliar. Perseroan juga melakukan efisiensi dalam belanja modal dengan penyerapan hanya US$6 juta dari alokasi US$18 juta yang dianggarkan tahun ini.
Adapun untuk produksi hingga saat ini hanya mencapai 20 juta ton batu bara, dari target 26,5 juta ton. Salah satu kajian untuk mendorong penyerapan hasil produksi batu bara adalah mengembangkan pembangkit listrik.
"Pembangkit listrik Suaran masih dalam kajian sebagai bagian dari efisiensi. Kita sedang review ulang, awalnya 15-25 MW tapi dengan perubahan kondisi industri ya kita revisi. Kita coba fokus meningkatkan suplai kita ke domestik, kan pemerintah punya program 35.000 MW, dengan adanya Sinarmas kita ingin fokus bagaimana bisa ikut andil," katanya.