Berita / / Artikel

Utang Grup Rajawali Persulit BWPT Bayar Obligasi

• 02 Oct 2015

an image
Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil (keempat kanan) dan Menteri Perdagangan Antarbangsa dan Industri Malaysia Dato Sri Mustapa Mohamed (kelima kanan) bersama Duta Besar Malaysia untuk Indonesia Datuk Seri Zahrain Mohamed Hashim (keempat kiri), jajaran direksi Rajawali Corpora dan FGV. (Hanum K. Dewi/Bareksa)

Saldo utang Green Eagle, anak usaha grup Rajawali yang ditanggung BWPT mencapai hampir Rp3 triliun

Bareksa.com - Sejak PT Eagle High Plantation Tbk (BWPT) mengakuisisi Green Eagle Holdings Pte. Ltd, kesehatan keuangannya menjadi menurun. Dalam penelusuran Bareksa.com, ternyata Green Eagle sebelumnya memiliki utang yang tinggi dan kemudian terkonsolidasi dengan BWPT setelah proses akuisisi selesai.

Perusahaan yang sebelumnya bernama BW Plantation ini melakukan proses akuisisi perusahaan sawit milik grup Rajawali pada kuartal akhir 2014. Setelah bergabung, lahan BWPT pun melonjak menjadi 324 ribu hektar dari sebelumnya 129 ribu hektar. BWPT pun merogoh kocek yang besar untuk mengakusisi luasnya lahan tersebut yakni Rp10,53 triliun yang dibayar dengan dana hasil right issue.

Permasalahannya sebagian besar lahan masih dalam usia muda sehingga belum berproduksi secara maksimal. Bukannya menambah arus kas positif ke tubuh BWPT, masuknya Green Eagle justru menekan modal kerja karena masih membutuhkan dana besar dalam pengembangannya. (Baca juga:Seberapa Menarik Saham BWPT Yang Akan Dijual Rajawali?)

Besarnya dana pengembangan tercermin dari tingginya utang Green Eagle. Berdasarkan catatan atas laporan keuangan BWPT per Juni 2015, Green Eagle memiliki lebih dari delapan anak usaha di bidang perkebunan. Lima diantaranya memiliki utang yang dikonsolidasikan dalam laporan keuangan BWPT.

Tabel: Daftar Anak Usaha Green Eagle Yang Memiliki Utang (Jangka panjang & Jangka pendek)


sumber: laporan keuangan BWPT

Anak usaha Green Eagle memiliki utang jangka panjang dan utang jangka pendek senilai total Rp1,7 triliun dari Bank Mandiri dan Rp1,2 triliun dari ABN Amro Bank. Setelah dikonsolidasi, utang bank BWPT melonjak dua kali lipat menjadi Rp5,5 triliun per akhir Juni 2015 dibanding utang sebelum akuisisi yakni Rp2,4 triliun per akhir September 2014.

Besarnya tambahan utang ini juga membuat BWPT harus bernegosiasi kepada bank yang telah memberikan kredit kepada BWPT sebelum akusisi yakni PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI). Hal ini terlihat dalam laporan keuangan BWPT per akhir tahun 2014.

Pada laporan itu terlihat bahwa sepertinya BWPT baru memiliki utang dengan BNI dan BRI per akhir tahun 2014. Padahal utang tersebut sudah ada dalam laporan keuangan tahun 2013 dan 2012 sebelumnya. "Hilangnya" utang BNI dan BRI pada catatan laporan keuangan 2014 kemungkinan merupakan salah satu klausul dari BNI dan BRI agar bisa menyetujui akuisisi BWPT terhadap Green Eagle.

Tabel: Catatan Laporan Keuangan BWPT Tahun 2014

sumber: laporan keuangan 2014

Lebih lanjut, pertambahan utang dari Green Eagle membebani kinerja keuangan BWPT. Rata-rata utang anak usaha Green Eagle yang memiliki tingkat bunga sebesar 10-11 persen membuat beban bunga perusahaan bengkak  jadi Rp238 miliar di semester  pertama 2015, dari periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya 53 miliar.

Lemahnya keuangan turut mendorong kekhawatiran perusahaan sawit milik Grup Rajawali ini akan gagal dalam melakukan pembayaran obligasi yang akan jatuh tempo pada 16 November 2015 senilai Rp700 juta karena posisi working capital BWPT sudah negatif Rp1,84 triliun. (Baca juga: Anak Usaha Grup Rajawali, BWPT Terdesak Bayar Utang Rp700 M di Bulan November)

Dalam keterbukaan Informasi Bursa Efek Indonesia per 18 Agustus 2015 lalu manajemen BWPT menyampaikan telah merencanakan refinancing utang lebih dari Rp2,5 triliun. Hingga berita ini diturunkan manajemen BWPT belum merespon telepon maupun pesan singkat yang disampaikan Bareksa terkait perkembangan refinancing ini. (np)

 

Tags: