Pertama Kalinya Indonesia Alami Deflasi Saat Kemarau Panjang

Bareksa • 02 Oct 2015

an image
Presiden Joko Widodo mengecek tumpukan karung berisi beras yang diangkut truk ketika meresmikan penyaluran serentak beras miskin (raskin) dan operasi pasar beras tahun 2015 di Gudang Beras Bulog di Kelapa Gading, Jakarta, Rabu (25/2). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Lemahnya daya beli masyarakat perlu ditopang stimulus ekonomi dari pemerintah

Bareksa.com - Deflasi pada bulan September kala kemarau panjang menunjukan masih lemahnya daya beli masyarakat. Meningkatnya belanja pemerintah perlu ditopang oleh kebijakan moneter agar bisa menjadi stimulus ekonomi.

Badan pusat statistik (BPR) kemarin (10/1) mengumumkan terjadinya deflasi di bulan september sebesar 0,05 persen. Terjadinya deflasi didorong penurunan harga beberapa komoditas diantaranya ayam ras, cabai merah, cabai rawit, bawang merah, minyak goreng, dan tarif angkutan udara.   

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution memandang deflasi yang terjadi september ini memiliki sisi positif dan negatif. Positifnya, deflasi menunjukan kesuksesan pemerintah dalam mengendalikan harga pangan. Tapi negatifnya, deflasi September bisa saja terjadi karena daya beli yang tergerus perlambatan ekonomi. "Permintaan barang sedang melemah karena ada perlambatan ekonomi," kata Darmin di istana negara kemarin.

Padahal saat ini Indonesia sedang mengalami kekeringan akibat adanya El Nino. Berdasarkan data BPS sejak Januari tahun 2010 hingga September 2015, setiap terjadinya El Nino mendorong kenaikan inflasi. Tahun 2011 inflasi merangkak naik dan mencapai puncaknya di bulan Juli ke level 0,93 persen seiring dengan meningkatnya intensitas kekeringan.

Sebagaimana diketahui, El Nino merupakan suatu kondisi peningkatan suhu permukaan laut di samudra pasifik bagian timur, yang memicu musim kemarau panjang di Indonesia.

Grafik: Inflasi & Intensitas El Nino 


Sumber: BPS, BMKG, diolah Bareksa

Persoalan mengenai rendahnya daya beli kini merembet ke sektor perbankan. Data statistik perbankan yang dipublikasi Bank Indonesia (BI) menunjukan bahwa rasio kredit macet (non peforming loan/NPL) bulan Juli 2015 mengalami peningkatan ke level 2,69 persen dibanding Juli 2014 yang masih di level 2,23 persen. Padahal total kredit yang disalurkan perbankan hanya naik 9 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya.   

Peningkatan NPL per Juli 2015 masih didominasi oleh kredit modal kerja dan investasi menunjukan penurunan kemampuan dunia usaha untuk membayar pinjaman bank. Data ini menunjukan seretnya cash flow dunia usaha.  

Grafik: Peningkatan NPL Bank


Sumber: Bank Indonesia, diolah Bareksa

Dalam kondisi ini, pemerintah pusat sudah berupaya memberikan stimulus dengan percepatan realisasi belanja negara. Data kementerian keuangan menunjukan realisasi belanja pemerintah sampai dengan bulan Juli mencapai Rp914 triliun. Walaupun angka tersebut baru mencakup 46 persen dari target belanja tahun ini yang hampir menyentuh Rp2 ribu triliun, tetapi nilainya membaik dibandingkan bulan-bulan sebelumnya di semester pertama tahun ini.

Grafik: Realisasi Belanja Pemerintah Pusat


Sumber: Kementerian keuangan

Saat inflasi dalam kondisi rendah seperti saat ini sebenarnya Bank Indonesia (BI) memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga. Hal tersebut diungkapkan oleh kepala ekonom Bank Danamon Anton Gunawan. "Indonesia sedang mengalami cooling down sehingga butuh stimulus," katanya kepada Bareksa.  

Menurut Anton, stimulus yang digulirkan baru berupa kebijakan fiskal oleh pemerintah pusat seperti paket kebijakan dan juga realisasi belanja pemerintah. "Seharusnya bank indonesia bisa mensinkronkan kebijakan fiskal dari sisi pemerintah dengan kebijakan moneter," tambah Anton. (Baca juga: Mampukah Bank Indonesia Pangkas Suku Bunga Seperti China & India?) (np)