Bareksa.com - Pemerintah akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas produk hasil tembakau menjadi 8,7 persen dari sebelumnya 8,4 persen.
Peraturan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 174/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Hasil Tembakau, yang terbit pada 21 September 2015 dan efektif berlaku per 1 Januari 2016.
Dikutip dari laman resmi Kementerian Keuangan, terbitnya PMK ini menggugurkan Putusan Menteri Keuangan Nomor 62/KMK.03/2001 tentang Dasar Penghitungan, Pemungutan, dan Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Hasil Tembakau.
Dalam PMK tersebut disebutkan yang dikenakan PPN adalah sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan dasar Pengenaan PPN adalah jumlah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak terutang.
Ia menyebutkan untuk harga jual eceran ada dua macam yang dijadikan faktor pengali PPN, yaitu Harga Jual Eceran (HJE) untuk penyerahan hasil tembakau dan HJE untuk jenis dan merek yang sama untuk umum setelah dikurangi laba bruto.
Dalam PMK tersebut dijelaskan jika impor hasil tembakau yang telah melunasi PPN tidak dikenakan lagi PPN impor. Namun, impor hasil tembakau yang telah memperoleh fasilitas pembebasan cukai tetap dikenakan PPN impor sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan.
Selain menaikkan cukai tembakau, pemerintah sebelumnya juga menargetkan pendapatan cukai tembakau yang lebih tinggi pada 2016. Target tersebut tertuang dalam Nota Keuangan RAPBN 2016.
Pendapatan cukai dalam RAPBN 2016 ditargetkan mencapai Rp155.5 triliun. Sebesar Rp148,8 triliun akan berasal dari cukai tembakau. Sisanya berasal dari cukai etil alkohol (Rp171,2 miliar), dan cukai minuman mengandung etil alkohol (Rp6.492,4 miliar).
Pendapatan Cukai Pemerintah di RAPBN 2016
Bagi industri rokok, ini merupakan kesekian kalinya pemerintah menaikkan pungutan. Sebelumnya, para produsen rokok juga dilarang beriklan di televisi. (baca juga: Bagi Produsen Impak Pembatasan Iklan Rokok Lebih Kecil Dibanding Ancaman Pajak)
Analis Samuel Sekuritas Akhmad Nurcahyadi kepada Bareksa, Selasa 29 September 2015 mengatakan sebenarnya kenaikan PPN tembakau ini tidak akan berpengaruh terhadap perusahaan rokok. Pasalnya, sejauh jumlah para perokok juga tidak berubah signifikan.
"Dari sisi margin perusahaan rokok sepertinya juga tidak akan ada kesulitan meskipun harga rokok dinaikan," katanya.
Ia melanjutkan, cara cukup ampuh menekan konsumsi rokok seharusnya dengan mengenakan pajak per bungkus rokok, bukannya per batang. Kenaikan harga ini kemungkinan akan menekan pembelian rokok walaupun jumlahnya tidak akan terlalu berpengaruh.
Saham perusahaan rokok, menurut dia, juga tidak akan terimbas kenaikan cukai ini. Alasannya saham sektor konsumerlah saat ini paling baik untuk dimiliki.
Saham di sektor-sektor lain sedang dihantam badai krisis sehingga para investor akan lari ke sektor konsumen dan salah satunya emiten rokok.
Berdasarkan data Bareksa, sejak awal 2015 hingga semester I, penjualan rokok memang terus meningkat. Penjualan PT Gudang Garam Tbk (GGRM) naik menjadi 31,4 juta bungkus dari sebelumnya 30,7 juta bungkus pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Dari sisi laba, PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIL) juga mengalami peningkatan. Pada enam bulan pertama 2015 laba bersih WIIL menjadi Rp 57,5 miliar dari sebelumnya Rp53,3 miliar.
Sejauh ini, menurut Ahmad, jika Indonesia tidak meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) maka industri rokok masih punya kesempatan untuk tumbuh dengan baik. Saat ini posisi tawar industri rokok masih cukup kuat, baik dari sisi sumbangan cukai, tenaga kerja atau sumbangan lainnya.
Performa Saham Emiten Rokok
Kinerja saham perusahaan rokok di bursa efek pun masih mentatatkan kinerja yang cukup baik terutama untuk HMSP. Saham HMSP masih mencatatkan return 11,29 persen sejak awal tahun.
Namun tiga saham emiten rokok lainnya yakni GGRM, RMBA, dan WIIM masih terjatuh dibandingkan awal tahun. Saham WIIM jatuh paling dalam dengan return 40,80 persen, diikuti oleh GGRM 33,28 dan RMBA dengan minus sebesar 7,69 persen.