Berita / / Artikel

Vale Indonesia Masih Tunggu Izin Bangun 2 Proyek Smelter US$4 Miliar

• 24 Sep 2015

an image
A worker monitors the nickel melting process at a nickel smelter of PT Vale Tbk, near Sorowako (REUTERS/Yusuf Ahmad)

Proyek tersebut terdiri dari dua lokasi di Sulawesi yaitu Pomalaa dan Sorowako.

Bareksa.com - Produsen nikel PT Vale Indonesia Tbk (INCO) masih menunggu izin dari pemerintah Indonesia untuk membangun dua pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) mineral mentah.
Pembangunan smelter bernilai miliaran dolar itu untuk meningkatkan kapasitas produksi perseroan, sekaligus memberi nilai tambah bagi produk mineral perusahaan afiliasi Vale S.A. asal Brasil itu.

Presiden Direktur INCO Nico Kanter menjelaskan perseroan berencana membangun smelter senilai US$2 miliar di Pomalaa, Sulawesi Tenggara dan memperluas pabrik di Sorowako, Sulawesi Selatan yang juga senilai US$2 miliar. Diharapkan produksi perseroan dapat meningkat 60 persen dalam lima tahun.

Di Blok Pomalaa, INCO akan bermitra dengan Sumitomo Metal Mining (SMM) untuk mengembangkan pabrik pengolahan nikel berteknologi HPAL (High Pressure Acid Leaching). Fasilitas pengolahan akan memproses bijih nikel dan menghasilkan MSP (Mixed Sulphide Precipitate) dengan kandungan nikel di atas 45 persen agar memenuhi syarat ekspor produk yang telah ditetapkan pemerintah Indonesia.

"Progress proyek sekarang dalam tahap perizinan. Kami sudah melakukan DFS (Definitive Feasibility Study) dan nanti akan ada feasibility study lagi. Itu investasi besar. Sumitomo ingin meyakinkan semua sesuai dengan perhitungan mereka," ujarnya di sela-sela acara Annual Report Award di Jakarta, Selasa (22/9) malam.

Proses perizinan, katanya, memang membutuhkan waktu lama karena berkaitan dengan penentuan lokasi dan dampak lingkungan sekitar proyek. Kebijakan deregulasi oleh pemerintah, yang baru dicanangkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, belum mampu mempercepat proses investasi di proyek tersebut. "Saya belum lihat. Rencananya memang bagus, tetapi belum terlihat apa yang akan dilaksanakan dan bagaimana realisasinya," ujarnya.

Perseroan memiliki tambang nikel terbuka dan pabrik pengolahan di Sorowako, Sulawesi Selatan. INCO merupakan produsen nikel terbesar Indonesia dan menyumbangkan 5 persen pasokan nikel dunia. Perseroan menambang nikel lateritik dan mengolahnya menjadi nickel matte, produk setengah jadi yang mayoritas diekspor ke Jepang. Pemegang saham INCO adalah Vale Canada Limited (58,73 persen), Sumitomo Metal Mining Co Ltd (20,09 persen), dan publik (21,18 persen).

Dengan investasi sebesar US$2 miliar, INCO akan meningkatkan produksi menjadi 120.000 metrik ton nickel matte dalam waktu lima tahun ke depan. Angka tersebut bertumbuh 60 persen dibanding rata-rata produksi nickel matte perseroan saat ini sebanyak 75.000 metrik ton per tahun. (Baca juga: Pembangunan Smelter $2 Miliar Tunggu Perizinan, Bagaimana Kinerja INCO 2015?)

Rata-rata kandungan dari produk perseroan adalah 78 persen nikel, 1 persen kobalt dan 21 persen sulfur serta logam lainnya. Produk olahan nikel yang tahan suhu ekstrim ini biasanya digunakan untuk produk elektronik seperti baterai yang bisa diisi ulang, televisi dan CD/DVD. Produk ini juga bisa dibuat untuk koin, peralatan rumah tangga hingga kereta.

Selama ini, Vale Indonesia sudah tidak mengekspor bijih nikel mentah lagi.  Perseroan merupakan satu-satunya pemegang kontrak karya yang sudah melakukan amandemen dengan pemerintah untuk mengubah ketentuan agar sesuai dengan amanat Undang-Undang Mineral dan Batu Bara 2009.

Harga Nikel

Pasar komoditas global saat ini sedang mengalami tekanan akibat melambatnya pertumbuhan China yang membuat permintaan turun. Imbasnya, harga nikel dunia juga ikut terseret. Per Agustus, harga nikel di London Metal Exchange (LME) mencapai US$10.390 per metrik ton, angka terendah dalam lima tahun terakhir.

Grafik Pergerakan Harga Nikel Dunia di LME

Sumber: Index Mundi

Pada kuartal II, INCO membukukan kenaikan produksi 10 persen dibanding triwulan sebelumnya menjadi 19.251 metrik ton. Volume tersebut sesuai rencana produksi untuk mencapai target sekitar 80.000 metrik ton pada 2015. Akan tetapi, harga realisasi nikel pada triwulan kedua 11 persen lebih rendah dibanding triwulan pertama.

Penurunan harga nikel ini juga menghempaskan kinerja keuangan perseroan. Pendapatan INCO tercatat US$409 juta pada semester pertama tahun ini, turun dibanding US$482 juta pada periode yang sama tahun lalu. Laba periode berjalan pun menciut menjadi US$41,8 juta dibanding US$67,99 juta pada periode yang sama tahun lalu.

Oleh sebab itu, perseroan pun berupaya menekan biaya untuk menjaga profitabilitas. Salah satunya dengan melakukan program konversi batu bara. Perseroan selama semester pertama tahun ini mengganti penggunaan minyak dengan batu bara. "Harga nikel (sementara ini) tak menjanjikan, harganya memang sedang rendah. Makanya kami harus efisiensi biaya," ujar Nico.

 

Tags: