Berita / / Artikel

Insentif Pajak Bisa Dorong Pendalaman Pasar Modal

• 08 Sep 2015

an image
Warga menggunakan perahu melintas di kawasan konstruksi proyek jembatan Merah Putih atau jembatan Marthafons di kota Ambon, Maluku, Rabu (6/5). Pembangunan infrastruktur Jembatan 1.060 meter yang membentang di atas Teluk Dalam Ambon itu menghabiskan anggaran Rp416,75 miliar dari APBN. ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

Kombinasi dari insentif pajak dapat mendorong pasar modal dan proyek infrastruktur sekaligus

Bareksa.com - Kurangnya pendalaman finansial (financial deepening) dan minimnya tingkat partisipasi investor dalam negeri dipercaya sebagai faktor yang menjadikan pasar modal Indonesia sangat volatil. Padahal, ekonom menilai bahwa investor ritel bisa didorong masuk ke pasar modal dengan memberi insentif pajak.

Oliver Wyman, sebuah perusahaan konsultan manajemen internasional, melihat potensi ekonomi Indonesia karena memiliki produk domestik bruto (PDB) yang terbesar di wilayah Asia Tenggara. Indonesia memiliki PDB sebesar US$856,1 miliar pada 2014. Angka tersebut di atas Thailand US$380,5 miliar, Malaysia US$336,9 miliar dan Singapura US$307,1 miliar.

Principal Corporate and Institutional Banking Practice Oliver Wyman, Reet Chowduri, menjelaskan Indonesia berpotensi menarik investor untuk masuk ke pasar modal dengan memberi insentif pajak. Menurut dia, masuknya investor ritel ke pasar modal juga mendorong pendanaan lebih terdiversifikasi, terutama untuk kebutuhan proyek jangka panjang.

Misalnya, bila seorang investor membeli obligasi perusahaan infrastruktur, dana yang ditanamkannya itu akan dimasukkan ke dalam komponen pengurang pajak penghasilan. Di sisi lain, perusahaan infrastruktur akan lebih mudah mendapatkan dana karena investor tertarik terhadap insentif pajak itu.

"Sekarang banyak orang lebih memilih untuk menaruh uang dalam tabungan. Namun, kita perlu cari cara mendorong mereka untuk masuk ke pasar modal dengan menjadikan jumlah uang investasi sebagai pengurang pajak. Kombinasi dari insentif pajak dapat mendorong pasar modal dan proyek infrastruktur sekaligus," ujarnya di sela-sela pemaparan Financial Deepening in Indonesia di Jakarta.

Sejauh ini, tingkat partisipasi investor ritel di pasar keuangan Indonesia baru mencapai 0,2 persen dari total populasi atau sekitar 450.000 investor. Hal ini menyebabkan tingkat kontribusi pasar saham Indonesia terhadap PDB baru mencapai kisaran 49 persen dibandingkan dengan Thailand 111 persen, Malaysia 141 persen, dan India 149 persen. (Baca juga: Pasar Keuangan Indonesia Masih Volatil. Butuh Financial Deepening)

Perbandingan Kontribusi Pasar Saham Terhadap PDB di Beberapa Negara di Asia

Sumber: Riset Mandiri Institute dan Oliver Wyman

Akibat pasar yang masih dangkal, pasar finansial Indonesia masih sangat rawan terhadap volatilitas. Sejak awal tahun ini hingga 4 September 2015, indeks harga saham gabungan (IHSG) sudah anjlok 15,53 persen. Penurunan itu lebih dalam bila dibandingkan dengan Malaysia yang turun 9,77 persen dan Thailand yang minus 8,47 persen.

Grafik Perbandingan Kinerja Indeks YTD

Sumber: Bursa Efek Indonesia, data per 4 September 2015

Penurunan kinerja saham tersebut seiring dengan pelemahan nilai tukar rupiah yang hingga hari ini (7/9) sudah terdepresiasi sekitar 14 persen ke Rp14.234 per dolar AS. Selain itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga melambat menjadi 4,67 persen pada semester pertama tahun ini, paling lambat selama 6 tahun terakhir.

Dorong Ekonomi

Direktur Eksekutif Mandiri Institute Destry Damayanti menilai bahwa pemerintah perlu memberi stimulus untuk mendorong ekonomi saat ini. Salah satu dorongan untuk daya beli masyarakat adalah pengurangan pajak.

"Pajak dalam kondisi seperti ini seharusnya menjadi policy instrument (instrumen kebijakan) yang sifatnya memberi stimulus. Target pajak seharusnya diubah, sekarang yang penting mendorong daya beli dengan mengurangi pajak," ujarnya di Jakarta.

Menurut dia, perluasan obyek pajak atau ekstensifikasi tidak cocok diterapkan saat ekonomi sedang lesu karena justru menambah tekanan terhadap daya beli masyarakat. Namun, dia mendukung intensifikasi, yaitu dengan mengejar para wajib pajak yang belum membayar.

Tahun ini, pemerintah menargetkan penerimaan pajak Rp1.489,3 triliun dalam APBN-P 2015. Namun, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro pun mengakui akan ada perkiraan meleset (shortfall) sekitar 8 persen atau Rp120 triliun dari target itu.

Grafik Perbandingan Realisasi dan Target Penerimaan Pajak 2011-2015*

Sumber:Bareksa.com

Berdasarkan data Bareksa, realisasi penerimaan pajak selama 5 tahun terakhir memang tidak ada yang mencapai 100 persen. Adapun yang paling mendekati target adalah penerimaan pajak pada 2011 yang realisasi penerimaannya mencapai 99,45 persen. Kondisi ini didorong penerimaan PPh migas, PBB, dan Cukai yang nilainya melebihi target kala itu. (Baca juga: Target Pajak 2016 Tidak Realistis, Bisa Jadi Bumerang)

Tags: