Bareksa.com - PT Adaro Energy Tbk (ADRO) mencatat penurunan pendapatan dan profitabilitas seiring kondisi pasar batu bara yang masih lemah. Pada semester pertama 2015, pendapatan Adaro anjlok 17 persen menjadi US$1,4 miliar karena menurunnya volume penjualan dan harga penjualan rata-rata.
Akibatnya, laba bersih perseroan pada semester pertama 2015 menurun 31 persen menjadi US$119 juta. Sementara laba inti atau laba yang tidak termasuk komponen akuntansi non-operasional, menurun 29 persen menjadi US$148 juta.
Volume penjualan Adaro turun 6 persen menjadi 26,6 juta ton. Sementara produksi batu bara Adaro mencapai 25,9 juta ton, turun 7 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Harga rata-rata penjualan (ASP) Adaro turun 13 persen dibanding periode yang sama tahun lalu sejalan dengan tekanan pada harga pasar batu bara. EBITDA operasional (tanpa memperhitungkan komponen akuntansi non-operasional), pada semester I-2015 menurun sebesar 26 persen menjadi US$381 juta.
Namun, Adaro dapat menurunkan biaya kas batu bara (tidak termasuk royalti) sebesar 8 persen menjadi US$29,15 per ton pada semester pertama 2015. Penurunan tersebut disebabkan menurunnya nisbah kupas, biaya penanganan, biaya pengangkutan batu bara dan harga bahan bakar serta dilakukannya berbagai upaya penurunan biaya.
Di sisi lain, Adaro masih menghasilkan arus kas bebas positif sebesar US$177 juta. Likuiditas Adaro tetap kokoh dengan akses terhadap kas mencapai US$688 juta sehingga memberi keleluasaan bagi Adaro di tengah turunnya harga batu bara.
Struktur permodalan Adaro mengalami penguatan. Pada akhir semester pertama 2015, perbandingan antara utang bersih dengan EBITDA operasional 12 bulan terakhir sebesar 1,37x dan perbandingan antara utang bersih dengan modal sebesar 0,31x.
Seiring dengan masih lemahnya pasar batu bara, Adaro menyesuaikan panduan produksi 2015 menjadi 54 – 56 juta ton dari sebelumnya 56 – 58 juta ton karena kondisi pasar yang penuh tantangan.
Presiden Direktur dan Chief Executive Officer Adaro Garibaldi Thohir mengatakan akan tetap fokus pada disiplin biaya dan menerapkan strategi terencana yang baik. Menurut dia, batu bara akan tetap menjadi bahan bakar paling efisien dan murah bagi pembangkit listrik.
“Walaupun prospek dalam jangka pendek masih tetap menantang karena pertumbuhan permintaan yang melambat dan ketidakpastian makroekonomi, kami tetap yakin permintaan batu bara khususnya dari Indonesia, Asia Selatan dan Asia Tenggara akan memainkan peranan penting di masa yang akan datang," ujarnya dalam rilis, Selasa 1 September 2015.