Nilai Tukar Terus Melemah, Benarkah Kondisi Saat Ini Sama dengan Krisis 1997?

Bareksa • 27 Aug 2015

an image
Seorang pria duduk dengan latar lambang mata uang dolar di Jakarta. (ANTARA FOTO/Rosa Panggabean)

Krisis ini pertama kali muncul pada awal Juni 1997 di Thailand akibat aksi spekulan mata uang

Bareksa.com – Melemahnya nilai tukar rupiah di tengah kondisi perekonomian Indonesia yang bergejolak saat ini, mulai dikait-kaitkan dengan kondisi krisis ekonomi pada 1997. Tidak hanya media mainstream di dalam negeri, media luar negeri pun ikut membahas keterkaitan perekonomian 2015 dengan krisis 1997.

Padahal, sejumlah ekonom meyakini kondisi ekonomi Indonesia saat ini jauh lebih baik dibanding pada saat krisis 18 tahun silam. (Baca juga: Rupiah Terus Ambruk Tembus 14.000/$. Indonesia Sudah Krisis Ekonomi?)

Bagaimanakah sebenarnya krisis 1997 yang mengguncang hampir seluruh kawasan Asia Timur tersebut terjadi?

Krisis ini pertama kali muncul pada awal Juni 1997 di Thailand. Secara tiba-tiba, nilai tukar Baht anjlok akibat serangan spekulan mata uang asing yang menarik dananya hingga $400 juta.

Grafik Pergerakan Nilai Tukar Baht Terhadap dolar AS Periode 1991

Sumber: Bloomberg, diolah Bareksa

Aksi spekulasi ini muncul setelah beberapa perusahaan asal Negeri Gajah Putih itu mengalami permasalahan dalam pembayaran utang luar negeri yang jatuh tempo pada akhir 1996. Banyaknya perusahaan yang macet membayar utang ini tidak terlepas dari keteledoran negara-negara maju, seperti Jepang yang meminjamkan uangnya kepada perusahaan swasta asal Thailand tanpa memperhatikan kondisi fundamental perusahaan tersebut.

Akibatnya, para kreditor meminta percepatan masa jatuh tempo pembayaran utang karena timbul ketidak percayaan terhadap kapabilitas perusahaan Thailand. Masa jatuh tempo pelunasan utang pun terakumulasi dalam periode yang sama.

Hal ini kemudian membuat semakin banyak perusahaan swasta Thailand terjebak oleh besarnya utang luar negeri dan kesulitan mengembalikan pinjaman. Pemerintah Thailand tidak tinggal diam.

Saat itu, pemerintah terpaksa menguras cadangan devisanya untuk mempertahankan nilai tukar Baht yang saat itu masih menggunakan skema transaksi peg. Akibatnya, cadangan devisa Thailand pun menyusut menjadi 25,94 miliar pada Agustus 1997.

Namun, aksi pemerintah Thailand tersebut ternyata sia-sia. Mata uangnya Baht malah terus melemah hingga puncaknya menembus Baht 55 per dolarnya pada pertengahan Januari 1998. Pemerintah Thailand pun kemudian meminta pertolongan "technical assistance" kepada Dana Moneter internasional (IMF).

Grafik Cadangan Devisa Thailand

Sumber: Tradingeconomics

Akibat banyak perusahaan yang tidak mampu membayar utang, harga saham-saham yang diperdagangkan di Bursa Efek Thailand (SET) pun ikut terimbas. Saking tingginya aksi jual, saham Finance One—perusahaan keuangan terbesar di Thailand saat itu— sampai mengalami kebangkrutan. Indeks saham nilainya terpangkas 75 persen.

Krisis Mulai Merembet ke Negara Tetangga

Krisis di Thailand membuat sejumlah negara yang memiliki eksposur utang yang tinggi terhadap dolar AS mulai melakukan langkah penyelamatan. Salah satunya Filipina. Saat itu, Bank sentral Filipina menaikkan suku bunganya dua kali hingga mencapai 25,75 persen.

Grafik Kenaikan Suku Bunga Acuan Filipina

Sumber: Tradingeconomics

Langkah serupa diikuti oleh pemerintahan Hongkong. Pada 15 Agustus, suku bunga acuan Bank Sentral Hongkong naik menjadi 23 persen dari sebelumnya 8 persen. Akibat kenaikan suku bunga ini, inflasi  di Hongkong ikut melonjak ke level 6,4 persen pada Juli 1997. Imbasnya, nilai tukar dolar Hongkong pun ikut tertekan kala itu.

Grafik Kenaikan Inflasi Hongkong Periode May-November 1997

Sumber: Tradingeconomics

Pada saat yang bersamaan, Ringgit Malaysia pun diserang spekulator mata uang. Untuk menghadapi serangan itu, Perdana Menteri Malaysia Mahatir Muhammad saat itu memerintahkan kebijakan mata uang mengambang (floating exchange rate). Sialnya, Ringgit malah turun lebih dalam.

Akibat tekanan terhadap mata uangnya dan juga defisit anggaran yang sangat besar, Standard and Poor’s  menurunkan peringkat Negeri Jiran tersebut.

Krisis juga menghantui Indonesia yang saat itu sebenarnya masih mengalami pertumbuhan ekonomi yang baik. Perdagangan Indonesia saat itu bahkan surplus lebih dari $900 juta karena ekspor minyak mentah yang sangat besar.

Krisis mulai menghajar Indonesia setelah pemerintah mengganti kebijakan nilai tukarnya menjadi mengambang bebas (free floating). Pasalnya, ternyata banyak perusahaan swasta di Indonesia yang meminjam uang dalam bentuk dolar AS. Keadaan diperparah karena pinjaman tersebut tidak dilindungi oleh fasilitas lindung nilai (hedging).

Krisis terus menjalar melewati lautan hingga ke Korea Selatan yang saat itu menduduki posisi sebagai negara dengan perekonomian terbesar nomor 11 di dunia. Ekonomi Korea Selatan ikut limbung karena sektor perbankan Korea saat itu menghadapi permasalahan besarnya kredit macet (NPL). Akibat besarnya kredit macet di sana, banyak perusahaan-perusahaan besar seperti Kia Motor mengalami default.  

Pasar modal Korea pun sempat mengalami keruntuhan 11 persen dalam dua hari pada November 1997. Krisis juga merembet ke Rusia dan Brasil yang menyebabkan kedua negara tersebut meminta bantuan kepada IMF.