Dolar Sentuh Rp14.000, Ini Daftar Emiten yang Rentan Terhadap Pembengkakan Biaya

Bareksa • 24 Aug 2015

an image
Karyawan mengepak uang dolar AS di cash center Bank Rakyat Indonesia (BRI), Jakarta. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Utang valas tertinggi dimiliki EXCL

Bareksa.com - Nilai tukar rupiah hari ini (Senin, 24 Agustus 2015) menembus level Rp14.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Merosotnya rupiah mengerek turun harga saham-saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Terutama yang memiliki risiko tinggi terhadap menguatnya dolar.

Sejumlah perusahaan tanah air memiliki utang dalam valuta asing yang cukup besar. Di sisi lain, pendapatan mereka dalam rupiah, sehingga merosotnya rupiah berpotensi memberatkan kinerja perusahaan-perusahaan tersebut karena keperluan membayar bunga utang yang kian membengkak.  

Grafik: Pergerakan Kurs Dolar

sumber: Bloomberg

Beberapa waktu lalu, Broker Asing Morgan Stanley mengeluarkan daftar sejumlah perusahaan yang memiliki risiko tinggi di kawasan Asia Tenggara. Sebanyak 10 perusahaan Indonesa masuk ke dalam daftar tersebut. Di antaranya PT XL Axiata Tbk (EXCL), PT Indosat Tbk (ISAT), PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG), PT PTMNC SKY Vision Tbk (MSKY), PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR), PT Alam Sutera Realiti Tbk (ASRI), PT Global Mediacom Tbk (BMTR), PT Pakuwon Jati Tbk (PWON) dan PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN).

Seberapa rentan perusahaan tersebut? Bareksa mencoba melakukan analisis dari data laporan keuangan terakhir yang sudah dipublikasikan perusahaan.  

Grafik: Utang Valas Perusahaan


Sumber: Bareksa, diolah dari laporan keuangan
 

Merujuk pada laporan keuangan masing-masing perusahaan, utang valuta asing (valas) tertinggi dimiliki oleh dua perusahaan telekomunikasi, yakni EXCL dan ISAT. Keduanya memiliki utang valas masing-masing Rp14 dan Rp11 triliun, atau setara 56 persen dan 46 persen dari keseluruhan utang. Tingginya utang perusahaan-perusahaan ini tidak terlepas dari langkah ekspansi dalam beberapa tahun terakhir. Contohnya, EXCL yang melakukan akuisisi operator telekomunikasi AXIS pada 2014 silam.

Utang valas tertinggi berikutnya dimiliki oleh perusahaan menara telekomunikasi, yakni TBIG dan TOWR. Setengah dari utang milik TBIG atau setara Rp8,5 triliun merupakan utang valas. Sementara itu, TOWR memiliki utang valas sebesar Rp6,1 triliun atau setara 64 persen dari total utangnya.  

Dengan memiliki utang valas yang tinggi, maka perusahaan-perusahaan ini berpotensi membayar beban bunga yang lebih tinggi seiring dengan menguatnya dolar. Masalahnya, beberapa perusahaan pada awal 2014 ini sudah membayar bunga lebih besar dibandingkan laba operasionalnya.

Hal tersebut tergambar dari interest coverage ratio (ICR). ICR menggambarkan seberapa besar laba operasional perusahaan dibanding beban bunga yang ditanggung. Jika ICR kurang dari 1, maka beban bunga lebih tinggi dari laba operasional, demikian juga sebaliknya.

Grafik: Interest Coverage Ratio


Sumber: Bareksa, diolah dari laporan keuangan

Data di atas menunjukan tiga perusahaan dengan nilai ICR kurang dari 1, yakni ISAT, EXCL, dan MSKY. Sehingga perusahaan-perusahaan tersebut memiliki risiko pembengkakan kerugian yang lebih besar dari perusahaan lainnya. Perlu diketahui bahwa sepanjang semester I-2015 ISAT mengalami kerugian Rp455 miliar,  EXCL rugi Rp850 miliar, dan MSKY rugi Rp293 miliar.

Selain itu, struktur permodalan beberapa perusahaan yang masuk dalam daftar didominasi oleh utang. Hal ini dapat dilihat dari rasio utang terhadap modal (debt to equity ratio/DER) yang berada di atas 1 kali. DER tertinggi dimiliki TBIG sebesar 4,3 kali. Dengan demikian, berarti utang TBIG sudah 4,3 kali lebih tinggi dari modal sendiri yang mereka miliki.

Grafik: Rasio Utang Terhadap Modal


Sumber: Bareksa, diolah dari laporan keuangan