Rapat Dewan Gubernur BI Minggu Depan Akan Dihadiri Pemerintah: Kastaf Presiden

Bareksa • 14 Aug 2015

an image
Indonesia's Coordinating Minister for Economic Affairs Darmin Nasution, (C), Coordinating Minister for Security and Political Affairs Luhut Pandjaitan (L) and Coordinating Minister of Maritime Affairs Rizal Ramli (R) pose for photographers before taking the oath at the presidential palace, August 12, 2015. REUTERS/Darren Whiteside

Boleh BI dengar complaint dari pemerintah, boleh BI independen dari pemerintah, tapi tidak independen dari kepala negara

Bareksa.com - Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) minggu depan direncanakan akan dihadiri oleh wakil dari pemerintah. Langkag itu bertujuan meningkatkan koordinasi antara pemerintah, yang melaksanakan kebijakan fiskal, dan bank sentral, yang mengatur kebijakan moneter.  

BI akan melaksanakan RDG berikutnya pada 18 Agustus, dengan agenda utama memutuskan kebijakan tingkat suku bunga.

Sekarang ini, tingkat suku bunga yang dikenal sebagai BI Rate berada pada level 7,5 persen. BI selama ini mengadopsi kebijakan yang cenderung 'hawkish', atau menekankan perhatian pada usaha menahan inflasi dan menjaga nilai tukar rupiah, daripada kebijakan yang cenderung mendukung pertumbuhan ekonomi, atau yang dikenal sebagai 'dovish'.

Dalam beberapa kesempatan sebelumnya, pemerintah pernah meminta BI untuk melonggarkan likuiditas dengan menurunkan suku bunga untuk membantu mendorong kegiatan ekonomi, walaupun sekarang ini tekanan untuk menurunkan suku bunga dari pemerintah telah mengendur.

Menurut Luhut Pandjaitan, Kepala Staf Kepresidenan/Menkopolhukam, Undang-Undang Bank Indonesia membolehkan wakil dari pemerintah hadir di RDG BI, dan hal ini juga telah dikonfirmasi ke Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo.

"Boleh BI mendengar complaint dari pemerintah. Boleh BI independen dari pemerintah, tapi dia tidak independen dari Kepala Negara," ujar Luhut kepada Bareksa.com. "Jadi dengan demikian masalah fiskal dan likuiditas bisa diatasi bersama. Likuiditas tidak boleh diketatkan terus."

Budi Hikmat, Direktur Riset dan Investasi Bahana TCW Asset Management, menilai bahwa suku bunga acuan BI Rate masih belum akan diturunkan hingga ketidakpastian ini selesai, termasuk faktor nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus terdepresiasi dan kebijakan The Fed untuk menaikkan suku bunga.  

"Tidak ada urgensi untuk menurunkan suku bunga. Kemarin Darmin Nasution (Menko Perekonomian) juga sudah menyatakan untuk menjaga stabilitas dibandingkan mendorong pertumbuhan," ujarnya ketika dihubungi oleh Bareksa.com.

Hingga hari ini, nilai tukar rupiah masih melemah 0,12 persen terhadap dolar AS mencapai Rp13.784 per dolar. Devaluasi yuan ditengarai menjadi sebab penguatan dolar yang berdampak pada depresiasi nilai tukar rupiah. Depresiasi rupiah ini pun menjadi salah satu pertimbangan bank sentral untuk tetap mempertahankannya.

Di sisi lain, sejumlah proyeksi ekonomi Indonesia tahun ini juga telah meleset dari perkiraan pemerintah. Sepanjang semester pertama tahun ini, pertumbuhan PDB hanya mencapai 4,7 persen. Padahal, pemerintah memproyeksikan pertumbuhan tahun ini sebesar 5 persen.

Lemahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia disebabkan oleh lambatnya penyerapan APBN yang hingga Juni baru mencatat penerimaan Rp771 triliun, atau 43,8 persen dari target. Adapun penerimaan dari pajak hanya mencapai Rp521 triliun, atau 41,7 persen dari target. Penyerapan belanja pemerintah pusat juga masih lemah, hanya Rp524,1 triliun pada paruh pertama tahun ini, atau 39,7 persen dari pagu.