Bareksa.com - Empat perusahaan Grup MNC yang dikendalikan oleh taipan Hary Tanoesoedibjo kembali melakukan aksi pembelian saham dari pasar (buyback) senilai total Rp7,5 triliun. Aksi tersebut dipercaya dapat menahan penurunan harga saham di saat kondisi perusahaan masih positif, seperti yang sebelumnya pernah dilakukan.
Pada Senin 27 Juli 2015, PT Media Citra Nusantara Tbk (MNCN), PT MNC Sky Vision TBk (MSKY), PT Global Mediacom Tbk (BMTR) dan PT MNC Investama Tbk (BHIT) menggelar rapat umum pemegang saham untuk mendapat persetujuan aksi korporasi tersebut. Meski dilakukan bergiliran, RUPS keempat perusahaan itu menyetujui rencana buyback selama 18 bulan terhitung sejak 28 Juli 2015 hingga 28 Januari 2017. Aksi itu akan dilakukan oleh MNC Sekuritas, broker terafiliasi perseroan.
“Buyback dilakukan karena saham murah. Jadi daripada dana yang ada ditempatkan di bank, maka lebih produktif dipakai untuk buyback karena suatu saat kami jual lagi ke pasar,” ujar Hary Tanoesoedibjo, CEO MNC Group seusai rangkaian RUPS pada 27 Juli 2015.
Tabel Rencana Buyback Grup MNC
Sumber: Grup MNC, diolah Bareksa.com
Ternyata, aksi korporasi untuk menjaga harga saham ini sebelumnya pernah dilakukan oleh Grup MNC pada 2013. Pada 2013, aksi buyback diizinkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tanpa harus melalui proses RUPS. Namun, apakah benar buyback emiten-emiten itu terbukti menjaga harga saham mereka?
BMTR pada 29 Agustus 2013 mengumumkan rencana buyback yang berlaku hingga November 2013. Harga saham BMTR sempat turun 12 persen dalam tiga hari perdagangan dan ditutup di level Rp1.480 pada 28 Agustus 2013. Setelah perseroan mulai melakukan buyback, harga saham BMTR pun mulai beranjak naik hingga mencapai Rp2.175 pada 9 Oktober 2013.
Harga saham perusahaan holding media televisi itu rata-rata selama 63 hari perdagangan mencapai Rp1.920, level pada pengujung November. Perseroan tetap melanjutkan aksi buyback hingga akhir Desember. Selama 2013, BMTR melakukan pembelian saham senilai Rp1,17 triliun dan penjualan Rp163 miliar. Total saham dalam treasuri (treasury stocks) per akhir Desember sebanyak 597,55 juta atau 4,25 persen modal disetor.
Grafik Pergerakan Harga Saham BMTR
Sumber: Bareksa.com
Hal serupa juga terjadi pada harga saham BHIT yang mengalami penurunan 18,67 persen dari Rp375 menjadi Rp305 selama tiga hari hingga 28 Agustus 2013. Setelah perseroan mengumumkan rencana buyback pada keesokan harinya, harga saham BHIT terus naik hingga menyentuh Rp395 pada 16 September 2013.
Harga rata-rata saham BHIT sudah mencapai Rp350 pada akhir November 2015. Sepanjang 2013, BHIT mencatat pembelian kembali saham senilai Rp167,39 miliar dan penjualan senilai Rp521,75 miliar. Total treasury stocks per akhir Desember 2013 sebanyak 652,64 juta atau 1,82 persen modal disetor.
Grafik Pergerakan Harga Saham BHIT
Sumber: Bareksa.com
Sementara itu, MNCN yang merupakan pemilik sejumlah stasiun televisi nasional juga melakukan aksi buyback untuk mempertahankan harga sahamnya. Pada 28 Agustus 2013, MNCN mengumumkan aksi buyback setelah penurunan harga 13,3 persen pada tiga hari perdagangan dari sebelumnya Rp2.825 menjadi Rp2.450. Seiring dengan aksi itu, harga saham MNCN pun sempat menembus Rp3.350 per 19 September 2013.
Setelah tiga bulan aksi buyback dilakukan secara bertahap, harga rata-rata saham MNCN pun kembali mencapai Rp2.743 pada akhir November 2013. Pada 2013, pembelian saham treasuri MNCN mencapai Rp436,64 miliar untuk 145,48 juta lembar saham yang setara dengan 1,03 persen modal disetor perseroan.
Grafik Pergerakan Harga Saham MNCN
Sumber: Bareksa.com
Pada pertengahan 2013, OJK memang mengizinkan emiten untuk melakukan buyback tanpa harus meminta persetujuan RUPS. Syaratnya bila indeks saham secara kumulatif turun 15 persen dalam 3 hari berturut-turut. Batas maksimal pembelian sebesar 20 persen dari modal disetor perseroan.
Pada saat itu, emiten yang ingin melakukan buyback hanya perlu menyampaikan keterbukaan informasi kepada pemegang saham. Pembelian kembali tersebut hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu paling lama tiga bulan setelah penyampaian keterbukaan informasi dimaksud. Aturan itu pun akhirnya dicabut pada Mei 2014 karena kondisi pasar nasional sudah menunjukkan perkembangan positif.