Berita / / Artikel

Upaya Jokowi Genjot Belanja Negara Belum Tentu Dorong Ekonomi, Kenapa?

• 16 Jul 2015

an image
Jokowi dan hunian bertingkat di Jakarta (Antara)

Banyak kebijakan seperti dibidang perpajakan yang justru menghambat dunia usaha

Bareksa.com -  Pertumbuhan ekonomi tidak bisa mengandalkan belanja pemerintah menurut ekonom yang dikenal sangat kritis, Faisal Basri. Justru usaha pemerintah menggenjot infrastruktur  dalam kebijakan di lapangan malah menghambat pertumbuhan.

Benarkah seperti itu?

Dalam blognya Faisal menyebut kontribusi belanja pemerintah rutin porsinya sangat rendah hanya berkisar 9,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia (memakai nilai harga berlaku). Yang dianggap sebagai konsumsi seperti belanja pegawai dan subsidi.

Grafik Persentase Kontibusi PDB Berdasarkan Pengeluaran Menggunakan Harga Berlaku Periode 2010-2014 dan Kuartal I 2014 dan 2015

Sumber: BI diolah Bareksa.com

Sementara belanja modal pemerintah masuk dalam investasi pada PDB tetapi nilainya pun tidak besar. Dalam APBN-P 2014, belanja modal mencapai Rp135 triliun, tetapi jika dibandingkan dengan nilai investasi dalam PDB 2014 yang mencapai Rp3.434 triliun maka porsi belanja modal hanya 3,9 persen dari investasi atau 1,28 persen dari PDB.

Pada APBN-P 2015 belanja modal pemerintah dinaikkan hampir dua kali lipat menjadi Rp276 trilliun. Dengan proyeksi pertumbuhan PDB 5 persen, maka kontribusi belanja modal hanya berkisar 2,4 persen dari PDB.

Sehingga, menurut Faisal, menggenjot pengeluaran pemerintah tidak akan banyak mengerek pertumbuhan ekonomi jika tidak disertai dengan penciptaan iklim yang kondusif bagi investasi.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati kepada Bareksa.com mengatakan porsi pemerintah di dalam ekonomi memang kecil, karena ekonomi sebaiknya tidak didominasi pemerintah. Rata-rata belanja pemerintah setiap negara hanya berkisar 10-15 persen, sementara Indonesia masih sekitar 8 sampai 9 persen. Indonesia pernah 10 persen di periode pemerintahan orde baru.

"Masalahnya bukan dikecilnya kontribusi melainkan daya gedor atas stimulus fiskal, seberapa besar ini bisa menjadi daya dongkrak konsumsi rumah tangga, pertumbuhan investasi dan ekspor," kata Enny.

Grafik Persentase Pengeluaran Pemerintah Terhadap PDB Kawasan Asia

Sumber: worldbank, diolah Bareksa.com

Titik lemah Indonesia dibanding negara kawasan Asia lain bukan dari rendahnya porsi pengeluaran pemerintah, tetapi efek multiplier atas stimulus fiskal ke konsumsi masyarakat, investasi serta ekspor yang lebih kecil.

Rangga Cipta, ekonom PT Samuel Sekuritas juga mengatakan kontribusi pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi tidak hanya dilihat dari proporsi tetapi juga magnitutenya.

"Yang penting bukan direct effect atas goverment spending, tapi indirect effect terhadap komponen PDB lainnya dalam jangka panjang," kata Rangga kepada Bareksa.com.

Menurut Rangga seharusnya setelah pemerintahan Joko Widodo menurunkan subsidi bahan bakar minyak (BBM), efek multiplier atas stimulus fiskal bisa meningkat. Sayangnya penyerapannya masih lambat. Hingga 15 Juni 2015 saja belanja pemerintah pusat masih di bawah 30 persen.

Tabel Realisasi APBN-P

Sumber: Bareksa.com

Persoalan lain menurut Enny, saat ini sistem perpajakan justru menekan konsumsi. Presiden Jokowi betul untuk menargetkan adanya kenaikan pajak 30 persen, dan target itu tidak terlalu tinggi mengingat masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak taat pajak. Dan pemerintah perlu meningkatkan penerimaan guna membiayai tingginya anggaran infrastruktur.

Hanya penerapan di lapangannya tidak kreatif. "Seperti berburu di kebun binatang, masyarakat yang sudah patuh terhadap pembayaran pajak justru ditekan." (Baca juga: Wacana Pengenaan Pajak Dikritik Pelaku Usaha; Pemerintah Dianggap Kejar Setoran)

Akibatnya justru kontradiktif dengan pertumbuhan ekonomi, terbukti dari realisasi penerimaan perpajakan hingga 15 Juni baru mencapai 32,5 persen dari target. Padahal periode yang sama tahun lalu realisasi pajak sudah 40,1 persen dari target berdasar data Kementerian keuangan.

Pajak produktif jangan dikurangi. Justru pajak progresif penghasilan selama ini tidak bisa secara baik dikendalikan Kementerian Keuangan karena belum lengkapnya database penghasilan masyarakat. Ini yang menjadi kendala Departemen Perpajakan untuk melakukan penegakan. Oleh karena itu yang perlu didorong justru pembentukan sistem database tersebut.

Faisal pun mengkritik Kementerian Keuangan yang baru-baru ini justru meningkatkan pajak penghasilan bayar di muka untuk seluruh impor bahan baku dan penolong menjadi 10 persen dari sebelumnya 7,5 persen.

Melihat kenyataan ini maka untuk mencapai target pertumbuhan 5,2 persen pada 2015, yang merupakan target optimis maka tidak hanya diperlukan dorongan menggenjot pengeluaran pemerintah tetapi pemerintah juga perlu melonggarkan kembali sistem yang justru kontradiktif dengan pertumbuhan ekonomi seperti pajak-pajak yang bersifat produktif.

 

 

 

 

Tags: