Bareksa.com - Sudah hampir setahun sejak sepuluh perusahaan swasta meneken perjanjian kerja sama dengan Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta untuk menyanggupi pembangunan proyek raksasa Rp1.000 triliun.
Reklamasi, yang merupakan bagian dari megaproyek NCICD (National Capital Integrated Coastal Development), ternyata membutuhkan waktu panjang untuk menyelesaikannya, bahkan memulainya.
Memang, pemerintah pusat sudah memutuskan menunda pembangunan tanggul dari megaproyek NCICD itu. Namun, proyek reklamasi yang diserahkan kepada swasta seharusnya tidak terpengaruh. Ada tiga perusahaan publik ikut menjawab tantangan Pemprov DKI Jakarta untuk ikut mengembangkan 17 pulau reklamasi, yang bentuk desainnya mirip burung garuda sedang mengepakkan sayap itu. Tiga perusahaan tersebut adalah PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk (PJAA), PT Intiland Development Tbk (DILD) dan PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN).
PJAA, yang sekitar 72 persen sahamnya dimiliki oleh Pemprov DKI Jakarta, mendapat bagian cukup besar dalam megaproyek ini, yaitu empat pulau (I, J, K, L) dengan luas 1.000 hektare. Selain mendapat bagian besar, PJAA juga sudah memulai pengembangan salah satu pulaunya yang terdekat dengan pantai.
Pulau pertama yang dikembangkan adalah Pulau K seluas 32 hektare, yang fokusnya taman rekreasi bernama Dufan Ocean. Berdasarkan laporan keuangan Maret 2015, PJAA telah mengerjakan fisik tanggul. Adapun investasi untuk taman rekreasi saja mencapai Rp2,5 triliun.
"Rencananya kawasan ini akan menjadi komplek apartemen, hotel, mall dan wisata atraksi air, dan convention hall," kata Direktur Utama PJAA Gatot Setyowaluyo dalam paparan publik di Jakarta, Senin 8 Juni 2015.
Investasi tersebut baru awal saja, karena ada tiga pulau lain. Adapun perkiraan biaya reklamasi diperkirakan Rp2,5 juta per meter persegi. Diasumsikan biaya reklamasinya sama untuk keseluruhan 1.000 hektare, investasinya bisa mencapai Rp25 triliun. (Baca juga: Begini Cara Jaya Ancol Biayai Mega Proyek Reklamasi Pulau K)
Tabel Proyek Reklamasi PJAA, DILD, APLN
Sumber: Bareksa.com
Emiten lain yang sudah mendapatkan izin reklamasi dari Gubernur DKI adalah APLN, melalui anak usahanya PT Muara Wisesa Samudera. APLN akan membangun kawasan superblok bernama Pluit City di atas reklamasi Pulau G seluas 160 ha. Biaya reklamasi diperkirakan mencapai total Rp4,9 triliun.
Seperti tertera dalam izin reklamasi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, reklamasi yang akan dilakukan APLN sebenarnya terbatas pada pembangunan tanggul penahan, penggundukan tanah, dan pematangan lahan hasil reklamasi untuk pembentukan pulau baru.
Meskipun perseroan telah mendapatkan izin Gubernur Basuki “Ahok” Purnama, sempat muncul pertentangan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Alasannya, Kementerian yang dipimpin Susi Pudjiastuti itu menyatakan pesisir Jakarta adalah wilayah nasional strategis sehingga izin harus dari pemerintah pusat. (Baca juga: Gubernur Ahok Vs Menteri Susi dan Nasib Megaproyek Pluit City - Agung Podomoro)
Perusahaan yang tergabung dalam Grup Agung Podomoro ini pun bersikukuh sudah mengikuti aturan yang ada, walaupun mungkin belum permisi kepada pemerintah pusat. Meskipun mengklaim belum melakukan penjualan, APLN sudah gencar mengiklankan proyek superblok di atas pulau reklamasi itu. Bahkan, calon pembeli unit properti sudah dapat menyambangi marketing gallery Pluit City yang terletak salah satu mall di kawasan Muara Angke, Jakarta Utara.
Perseroan pun mengaku sudah mendapatkan minat para pelanggan lamanya yang ingin membeli unit di Pluit City. "Kami sudah ada database loyal customer. Boleh dong mereka mendaftarkan minat. Kami bukan dalam arti memasarkan, hanya mendata minat mereka," Direktur Marketing APLN Indra Widjaja Antono baru-baru ini ketika ditanyai soal pemasaran Pluit City berkilah.
APLN memperkirakan permulaan reklamasi masih di semester pertama tahun depan dan lama pekerjaan proyek itu berkisar 4 - 5 tahun. Secara fisik, kata Indra, belum ada sedikitpun lahan yang diuruk saat ini. "Kalau Anda lihat di sana masih air saja. Sama sekali belum dikerjakan," katanya.
Sementara itu, DILD emiten yang mendapat bagian untuk mengembangkan pulau H seluas 63 hektare. Setelah meneken perjanjian kerja sama, hingga saat ini perseroan masih menanti izin dari Pemerintah Provinsi DKI untuk pengerjaan reklamasi itu dan berharap selesai pada bulan Juli ini.
DILD akan mengembangkan perumahan, apartemen dan pusat perbelanjaan di pulau itu dan memperkirakan investasi untuk reklamasi saja senilai Rp7,5 juta per meter persegi. Artinya, total investasi pulau H mencapai Rp4,7 triliun, terbilang mahal dibandingkan dua developer sebelumnya. (Baca juga: DILD Cadangkan Investasi Reklamasi Rp4,7 Triliun)
Direktur Pengelolaan Modal dan Investasi DILD Archied Noto Pradono menjelaskan mahalnya biaya reklamasi perseroan karena reklamasi yang dilakukan akan lebih dalam, mulai kedalaman 5 - 8 meter, dibanding rata-rata reklamasi mulai dari 0 meter. "Kami cadangkan Rp7,5 juta per meter, tetapi ekspektasi kami akan lebih rendah. Pastinya akan menunggu izin selesai," ujarnya baru-baru ini.
Setelah mendapat izin, perseroan akan menyusun persyaratan kontraktor dan menyelesaikan desain perencanaan proyek. Kemudian, pengembang properti itu dapat mulai melakukan penjualan (pre-sale).
Namun, perseroan belum mendapatkan komitmen pendanaan dari bank untuk reklamasi. Intiland akan menggunakan hasil marketing sales dan kas internal terlebih dulu. "Tahun ini baru planning. Soal pendanaan kami jajaki pre-sale setelah mendapat izin. Kemudian bisa dari cashflow atau bahkan mengundang investor lain," ujarnya.
Sejak awal tahun, dari ketiga saham tersebut PJAA memberi return terbesar, mencapai 38,03 persen sementara APLN memberi return 11,94 persen. Namun, saham DILD memberi return negatif 12,31 persen.
Grafik Pergerakan Saham APLN, DILD, PJAA
Sumber: Bareksa. com