Bareksa.com – Hasil survei lembaga penelitian Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) yang baru dirilis menunjukkan bahwa tingkat kepuasan masyarakat atas kepemimpinan Presiden Joko Widodo merosot 20 persen hanya dalam kurun waktu delapan bulan pemerintahannya. Sentimen ini muncul karena imbas melemahnya kinerja perekonomian nasional.
Sektor ekonomi ibarat jantung masyarakat di manapun. Lemahnya sektor ini tak pelak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kepemimpinan suatu negara. Namun, untuk lebih memastikannya, analis Bareksa, mencoba meneliti korelasi antara beberapa parameter ekonomi dengan hasil penelitian lembaga survei terkemuka tersebut.
Dua parameter yang paling mudah dilihat dan dirasaan warga adalah pergerakan nilai tukar rupiah dan laju pertumbuhan ekonomi.
Sejak Presiden Jokowi dilantik 20 Oktober 2014 lalu hingga 9 Juli 2015, rupiah terdepresiasi sekitar 10 persen menjadi Rp13.325 per dolar Amerika. Pertumbuhan ekonomi kuartal I 2015 merosot menjadi 4,71 persen, melemah dibandingkan kuartal III 2014 yang masih di angka 4,92 persen.
Padahal, di masa kampanye, nilai tukar rupiah dan laju perekonomian sempat diperkirakan bakal melesat positif jika Jokowi terpilih memimpin negeri ini. (Baca juga: Rupiah Malah Ambrol Ke Rp13.000/$ Setelah Jokowi Jadi Presiden, Kenapa?)
Sumber: Bareksa.com
Bagaimana dengan SBY?
Membandingkan pada periode yang sama, sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dilantik pada 20 Oktober 2004 sampai 7 Juli 2005, rupiah juga melemah. Akan tetapi, besarannya lebih rendah dibandingkan periode Jokowi, yakni hanya 7 persen menjadi Rp9.796 per dolar Amerika. Sedangkan pada periode yang sama di era pemerintahan SBY yang kedua, mulai 20 Oktober 2009 sampai 7 Juli 2010, rupiah justru menguat 4 persen menjadi Rp9.078 per dolar Amerika.
Tren serupa terlihat pada angka pertumbuhan ekonomi. Delapan bulan pertama sejak SBY dilantik, ekonomi bertumbuh lebih tinggi. Di kuartal I 2005, naik 6,52 persen -- lebih tinggi dibanding kuartal III 2004 (sebelum SBY dilantik) yang hanya 4,54 persen. Begitu pula dengan periode awal pemerintahan SBY. Pada kuartal I 2010 ekonomi kembali naik menjadi 6,08 persen, melonjak dari level 4,12 persen pada kuartal III 2009 (akhir pemerintahan SBY periode pertama).
Sumber: Bareksa.com
Kinerja ekonomi yang lebih baik di awal dua era pemerintahan SBY itu berkorelasi secara positif dengan pandangan masyarakat terhadapnya.
Hingga Juni 2015, masih menurut survei SMRC, tingkat kepuasan atas kinerja Presiden Jokowi anjlok menjadi hanya 40,7 persen. Masa bulan madu antara Jokowi dengan rakyat ternyata berakhir lebih cepat dibandingkan SBY. Pada periode yang hampir sama, masing-masing sejak SBY terpilih hingga Juni 2005 dan Agustus 2010, tingkat kepuasan rakyat atas kinerja SBY masih berada di atas level 60 persen.
Sumber: SMRC, diolah Bareksa.com
Meski demikian, patut dicatat bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi perekonomian di suatu negara pada kurun waktu yang berbeda. Masalah dan latar ekonomi pada delapan bulan pertama era pemerintahan SBY tentu berbeda dengan sekarang.
Di masa SBY, Kabinet Indonesia Bersatu menghadapi tekanan dari kenaikan harga minyak dunia yang mendorong lonjakan harga-harga barang; ini tercermin dari kenaikan angka inflasi pada periode itu.
Adapun Presiden Jokowi berhadapan dengan melemahnya ekonomi global. Akibatnya, pendapatan yang mayoritas ditopang ekspor komoditas makin anjlok. Kontribusi ekspor komoditas mencapai 57 persen dari total ekspor. (Baca juga: Benarkah Ekonomi di Era Jokowi-JK Lebih Buruk Dibandingkan Masa SBY? Ini Datanya)
Anjloknya harga komoditas memang sudah berlangsung sejak akhir 2008, di penghujung masa pemerintahan SBY yang pertama. Tetapi, setelah ambrol tajam, harga komoditas sempat kembali naik di awal 2010, karena emerging markets seperti China dan India menerima arus deras kas masuk dari investor Amerika dan Eropa. China yang menjadi tujuan ekspor komoditas terbesar dari Indonesia, turut menularkan efek positif itu ke Indonesia.
Sepanjang Januari-Mei 2010, di awal periode kedua pemerintahan SBY, ekspor ke China melonjak 37 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya; demikian ditunjukkan data Bank Indonesia yang diolah Bareksa. Sebaliknya, pada kurun waktu Januari-Mei 2015 di awal era Jokowi, ekspor ke China amblas 26 persen.
Grafik: Nilai Ekspor Indonesia ke China ($ Juta)
Sumber: Bareksa.com
Hanif Mantiq, Head of Investment PT BNI Asset Management, mengatakan berbagai tantangan global pasti akan selalu dihadapi pemimpin negara manapun. Yang dia sayangkan, Presiden Jokowi seperti kurang lincah berpolitik dengan masyarakat. Kebijakan yang diambil Presiden Jokowi untuk mereformasi anggaran dinilai sangat positif untuk jangka panjang, terutama untuk sektor infrastruktur. “Tapi, selayaknya anak kecil yang diberikan pil pahit, Presiden Jokowi juga perlu memberikan permen insentif bagi masyarakat.”
Hanif melihat pemerintahan Jokowi-JK kurang memberikan solusi jangka pendek yang langsung dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Meski demikian, mayoritas masyarakat Indoenesia rupanya bersikap dewasa. Walaupun kecewa, 67,9 persen responden survei SMRC menyatakan tidak menghendaki Jokowi diturunkan di tengah jalan pemerintahannya. (kd)