Survei Investasi DBS : Indonesia Lebih Menarik Dibanding China & India

Bareksa • 10 Jul 2015

an image
Warga menggunakan perahu melintas di kawasan konstruksi proyek jembatan Merah Putih atau jembatan Marthafons di kota Ambon, Maluku, Rabu (6/5). Pembangunan infrastruktur Jembatan 1.060 meter yang membentang di atas Teluk Dalam Ambon itu menghabiskan anggaran Rp416,75 miliar dari APBN. ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

Survei DBS Insights Asia, sebuah diskusi yang digelar oleh bank bermarkas di Singapura itu.

Bareksa.com - Indonesia dinilai lebih menarik sebagai tempat berinvestasi dibanding dua negara lainnya di kawasan Asia, yaitu China dan India. Fakta itu terungkap dalam survei DBS Insights Asia, sebuah diskusi yang digelar oleh bank bermarkas di Singapura itu.

Survei yang dilakukan kepada para undangan dan nasabah DBS Bank sebelum dan sesudah diskusi di Singapura itu, menunjukkan perbedaan. Sebelum diskusi dimulai, China menjadi primadona sebagai tempat berinvestasi bagi para peserta mengalahkan Indonesia  dan India.  Peserta yang memilih China mencapai 58,2 persen, sedangkan Indonesia 31,3 persen dan India 10,4 persen.

Akan tetapi setelah acara selesai, mereka justru lebih memilih Indonesia (45,5 persen) ketimbang China (36,3 persen) dan India (18,2 persen). Namun, jumlah responden atau para peserta diskusi tersebut tidak disebutkan.

Grafik Survei Ketertarikan Terhadap Investasi di 3 Negara

Sumber: DBS Insights Asia

Seperti diungkapkan dalam situs web DBS, forum diskusi tersebut bertemakan Dampak dari Reformasi dan Perubahan di China, India dan Indonesia. Ketiga pemerintahan telah mengambil langkah reformasi ambisius, sehingga menaruh harapan tinggi bagi para pemangku kepentingan ekonomi dan politik.

Pembicara yang hadir dalam forum itu adalah CEO DBS Bank Hong Kong Sebastian Paredes, Chairman East Asian Institute Wang Gungwu, Former Chairman State Bank of India OP Bhatt, dan Senior Fellow Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jusuf Wanandi.

Poltak Hotradero, Kepala Riset Bursa Efek Indonesia yang menghadiri forum itu menyebutkan, sejumlah permasalahan utama dari tiga negara Asia yang menjadi fokus pembicaraan diskusi. Forum tahunan DBS itu membahas tentang gambaran ekonomi Asia di masa depan dari sektor energi dan teknologi digital, termasuk peluang dan tantangannya.

Terlepas dari presentasi yang dipaparkan para pembicara, Poltak menduga investasi di Indonesia terlihat lebih menarik karena faktor kedekatan lokasi antara Singapura (sebagai investor) dan Indonesia. "Dugaan saya lebih karena orang Singapura lebih kenal Indonesia," katanya ketika dihubungi Bareksa melalui pesan singkat.

Sementara itu, dia menilai China dalam posisi kelebihan modal dan ada masalah alokasi modal, sebagaimana tercermin dari pasar sahamnya. Seperti diberitakan sebelumnya, pasar saham China anjlok 30 persen dalam waktu sebulan setelah menanjak 150 persen sejak akhir tahun lalu akibat bubble di equity.  (Baca juga: Sebulan Saham China Ambrol 30%, Peluang Atau Ancaman Buat Indonesia?)

Poltak juga menambahkan bahwa India memiliki kelemahan di sektor bank, padahal kebutuhan modal sangat tinggi. "India kebutuhan modalnya sangat sangat besar, ada risiko di sektor perbankannya, dan ruang fiskal pemerintah India terlalu sempit," katanya.

Di sisi lain, Indonesia memiliki tantangan dalam masalah reformasi birokrasi, yang berkaitan dengan kinerja para pegawai negeri sipil (PNS). "Para PNS ini yang akan menjalankan kepentingan publik. Bila mereka inkompeten, efek bagi pemerintah akan negatif," kata Poltak dalam akun Twitternya @hotradero.

Dia pun mencontohkan pemerintahan Singapura yang memberi PNS gaji tinggi agar memastikan kualitas kompetensi mereka. Namun, dengan gaji tinggi, pemerintah akan mengalami keberatan biaya. Oleh sebab itu, Singapura beralih ke otomasi dan teknologi digital yaitu dengan Konsep Smart City/Country.

"Bila Singapura akan secara bertahap memangkas birokrasi menggunakan teknologi digital, ini sebuah terobosan yang bisa dipilih Indonesia," katanya.

Namun, di Indonesia teknologi tersebut masih dianggap sulit. "Bagian tersulit dan melelahkan dari administrasi publik adalah identitas nasional. Mungkin bisa dimulai dari sini via Digital ID."

Seperti terlihat dalam perkembangan terakhir, ketiga negara yang dianggap sebagai mesin pendorong pertumbuhan wilayah Asia tersebut mengalami perlambatan pertumbuhan.

China yang sebelumnya terus mendorong pertumbuhan tinggi, saat ini sedang menyesuaikan dengan istilah normal yang baru -- the New Normal, seperti dikutip dari riset DBS April 2015.
Pertumbuhan produk domestik bruto (GDP) di China diprediksi melambat menjadi 7 persen tahun ini dari sebelumnya 7,5 persen. Inflasi juga diperkirakan turun menjadi 3 persen dari sebelumnya 3,5 persen.

DBS menilai "New Normal" mengutamakan kualitas dibanding kuantitas, yang menunjukkan ekonomi sudah mulai matang. Sementara fokus utama pemerintah China adalah memberantas korupsi dan meningkatkan transparansi. Indeks persepsi korupsi di China mencapai nilai 36 dari nilai 100, dengan angka semakin tinggi artinya semakin bersih.

Sementara itu, DBS dalam publikasinya yang berbeda menilai India adalah tempat yang menjanjikan untuk tahun fiskal 2015/2016 karena inflasi mereda dan pertumbuhan semkain baik, ditambah dengan GDP yang makin tinggi. Tiga struktur kuat India adalah pemerintah yang tegas, bank sentral yang kredibel dan stabilitas makro ekonomi.

Terakhir, GDP Indonesia diperkirakan tumbuh 5,1 persen tahun ini dibanding tahun lalu 5,0 persen. Inflasi tahun ini diperkirakan sama dengan tahun lalu 6,4 persen. Sementara fokus pemerintah mengurangi defisit anggaran menjadi hanya 1,9 persen.

DBS dalam risetnya 1 Juli mengatakan bahwa pencairan fiskal adalah hambatan utama pertumbuhan GDP Indonesia tahun ini. Hingga Mei, penyerapan fiskal masih di bawah 30 persen dari target setahun dan belanja barang modal baru 10 persen target. "Oleh sebab itu, investasi di infrastruktur menjadi kunci pertumbuhan tahun ini," tulis riset DBS itu.