Sebulan Saham China Ambrol 30%, Peluang Atau Ancaman Buat Indonesia?

Bareksa • 08 Jul 2015

an image
China's Premier Li Keqiang (R) shakes hands with Indonesia's President Joko Widodo (L) at the Great Hall of the People on March 27, 2015 in Beijing, China. REUTERS/Feng Li

Harga saham mulai bergerak naik sejak Desember 2014 di mana level tertingginya hampir menyentuh rekor pada akhir 2007.

Bareksa.com - Setelah rally sejak awal tahun, akhirnya bursa China ambrol hingga 30 persen dalam sebulan terakhir. Ada apa?

Menurut penyusuran analis Bareksa, pelaku pasar melihat harga saham di Negeri Tirai Bambu sudah terlalu mahal (overvalued). Jadi, begitu ada guncangan terkait potensi bangkrutnya Yunani, investor langsung berduyun-duyun melakukan aksi jual.

Sejak awal Januari sampai 12 Juni 2015, indeks Shanghai di China melonjak 60 persen hingga level 5.166.

Seorang manajer investasi asing yang mengelola aset Rp10 triliun kepada Bareksa mengatakan bursa saham China meroket karena pemerintahnya sendiri yang menciptakan kondisi tersebut. "Pemerintah China perlu create bubble di stock market untuk mendorong artificial spending power," katanya.

Ini terkait dengan lesunya ekonomi global yang turut membuat ekonomi China melemah. Padahal, pemerintah harus terus mendorong ekonomi terus bertumbuh untuk membuka lapangan pekerjaan. Terus naiknya jumlah pengangguran telah menjadi momok yang menakutkan bagi pemerintah China. Karena itulah, demi menopang ekonomi, pemerintah terus menciptakan berbagai bubble.

"Pertama, bubble di properti, kemudian di wealth management product. Dan bubble terakhir yang mereka bisa ciptakan adalah di equity," dia menjelaskan.

Dilihat dari histori pergerakannya, indeks saham Shanghai cenderung stagnan sejak krisis 2008 akibat bubble harga komoditas.

Grafik: Pergerakan Indeks Shanghai Periode 10 Tahun Terakhir

Sumber: Yahoo Finance, diolah Bareksa

Harga saham mulai bergerak naik sejak Desember 2014 di mana level tertingginya hampir menyentuh rekor pada akhir 2007. Lonjakan itu terjadi setelah China memberikan stimulus ekonomi dan keringanan pembayaran pajak untuk sektor UKM hingga akhir 2016.

Rally bursa China terus berlanjut setelah pemerintah memperbolehkan investor membeli saham China di Hongkong. Warga di seluruh penjuru China didorong membeli saham, termasuk ibu rumah tangga. "Yang China lakukan adalah meniup bubble lagi supaya ada wealth effect: orang China yang kaya bertambah, konsumsi naik."

Tapi di sinilah masalahnya. Harga saham di China dan Hongkong meroket kelewat cepat.

Lanang Trihardian, investment analyst PT Syailendra Capital mengungkapkan naiknya harga saham itu tidak didukung oleh fundamental ekonomi sehingga membuat indeks China rawan koreksi. "Marketnya rally dalam satu sampai dua tahun terakhir, padahal ekonominya masih lesu. Saham-sahamnya banyak yang sudah 50 kali PER, bahkan ada yang sampai 100 kali PER," kata Lanang.

Price to Earning Ratio (PER) merupakan rasio yang mencerminkan seberapa mahal harga saham dibandingkan dengan laba yang diterima investor. Jika nilai PER 50 artinya harga saham 50 kali lipat dari labanya. Semakin tinggi PER menunjukkan harga saham yang semakin mahal.

Gopal Nurfalah, Manajer Investasi PT Tugu Reasuransi Indonesia, menilai penurunan indeks saham di China bisa memunculkan efek positif bagi Indonesia. Pasalnya, salah satu penyebab lesunya indeks saham Indonesia di semester pertama tahun ini adalah banyaknya investor asing yang mengalihkan dana mereka ke bursa China.

Data Bareksa menunjukkan sejak 4 Agustus 2014 hingga 7 Juli 2015 telah terjadi arus keluar Rp32 triliun oleh investor asing di pasar saham.


Sumber: Bareksa.com

"Waktu lalu banyak investor yang khawatir tidak kebagian kesempatan dari melonjaknya harga saham di China. Investor membuang saham antara lain di Indonesia, dan mereka alihkan ke China," kata Gopal.

Tentu saja, untuk menarik kembali investor asing itu perlu didukung iklim investasi yang baik. Saat ini, data fundamental ekonomi Indonesia masih menunjukkan tren pelemahan. Salah satu hal positif adalah rencana pemerintah untuk menggenjot proyek-proyek infrastruktur. "Kita perlu lihat spending pemerintah. Lalu katanya akan ada reshuffle. Kalau penggantinya disukai pasar, ini bisa mendorong indeks."

Di sisi lain, Gopal mengingatkan, jika pemerintah tidak cepat mengambil momentum positif ini, Indonesia justru bisa terkena imbas negatif dari ambruknya harga saham di China dan juga Eropa. "Saham kita bisa ikut terseret arus penurunan saham global." (kd)