Reshuffle Kabinet, Penekanan pada Konsolidasi Politik atau Perbaikan Ekonomi?

Bareksa • 07 Jul 2015

an image
Presiden Joko Widodo ditemani menteri-menteri dalam acara buka puasa bersama wartawan di Istana Negara pada hari Senin, 6 Juli 2015

Jokowi mengangkat tangannya sampai sebatas perut saat ditanya soal reshuffle kabinet.

Bareksa.com - Seiring dengan pengumuman reshuffle kabinet yang semakin dekat, pertanyaan yang timbul di banyak benak orang adalah mengenai prioritas tujuannya. Apakah penekanan reshuffle kabinet ada pada konsolidasi politik atau lebih pada usaha memperbaiki kinerja ekonomi?

Masalah terbesar yang dihadapi Presiden Joko Widodo sekarang ini ada dua, yang pertama soal ekonomi -- pertumbuhan ekonomi melambat, daya beli menurun, pendapatan pajak pemerintah menurun, penyerapan anggaran pemerintah masih lemah, rupiah jeblok. Semua ini terjadi di tengah ancaman penurunan kepercayaan investor global terhadap negara-negara berkembang seperti Indonesia yang disebabkan oleh sentimen negatif yang datang dari kabar gagal bayar utang pemerintah Yunani yang tidak terselesaikan. 

Tugas berat pemerintahan Jokowi menghadang di depan. Dan ini terjadi pada saat dukungan politik untuk pemerintahan Jokowi masih lemah. Lemahnya dukungan politik menjadi masalah terbesar kedua Jokowi.

Kubu koalisi partai-partai yang secara resmi mendukung pemerintahan hanya memiliki jumlah kursi sebesar 37 persen di DPR, masih jauh dari mayoritas 50,1 persen. Itupun sudah memperhitungkan kursi Partai Demokrasi Indonesia - Perjuangan (PDI-P) yang sebagian elit-elitnya justru terus berusaha menyerang pemerintahan Jokowi, layaknya kubu oposisi.

Reshuffle kabinet yang akan terjadi -- sering disebut akan jatuh pada sekitar hari raya Idul Fitri --  akan dijadikan kesempatan untuk mengatasi dua masalah ini. Pertanyaannya adalah apakah penekanannya lebih kepada masalah pertama atau kedua?

Masalah ekonomi penting, tapi kestabilan politik tidak kalah penting khususnya di saat keadaan ekonomi dalam negeri maupun global sedang sulit, di mana akan dibutuhkan terobosan-terobosan kebijakan yang sangat mungkin di luar kebiasaan yang  barang tentu akan membutuhkan dukungan politik dari parlemen.  

Pada acara buka puasa bersama wartawan yang bertugas di Istana Presiden hari Senin, 6 Juli 2016, Jokowi tidak mau komentar sama sekali saat ditanya soal reshuffle kabinet. 

Jokowi hanya mengangkat kedua tangannya sebatas perut, untuk memberikan sinyal no comment

Tobias Basuki, pengamat politik dan peneliti di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), menilai bahwa reshuffle kabinet akan mengalami tekanan politis yang kuat dan tawar-menawar antara sejumlah partai. 

"Secara teori, kabinet memang hak perogratif presiden tetapi ada tawar-menawar antar partai termasuk Partai Demokrat dan PAN (Partai Amanat Nasional). Posisi ekonomi memang mengalami perombakan karena terlihat permasalahan yang riil, tetapi untuk posisi lain belum perlu," ujarnya ketika dihubungi Bareksa

Tekanan publik, lanjutnya, adalah hal yang mendorong untuk perombakan para menteri terkait ekonomi. Sekilas, perbaikan ekonomi belum terlihat sehingga hal itu yang membuat publik menilai para menteri di bidang ekonomi perlu diganti. Dia pun mengatakan biasanya posisi untuk bidang ekonomi diserahkan kepada teknokrat.

Untuk posisi di luar ekonomi, katanya, beberapa menteri menjadi incaran reshuffle termasuk posisi Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno, dan Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani. Menurutnya, memang pemerintahan ini baru berjalan sembilan bulan dan belum banyak kebijakan yang terasa manfaatnya buat publik. 

"Kinerja mereka belum sempat terlihat, tetapi lebih banyak alasan politik. Nanti akan ada tarik-menarik antara publik dan partai. Prioritas Jokowi akan terlihat dari pemilihan dalam reshuffle ini," ujarnya. 

Tobias mengatakan secara sekilas perbaikan di bidang ekonomi belum terlihat karena membutuhkan proses yang panjang. Harga-harga naik yang terlihat dari tingkat inflasi, dibarengi dengan kebijakan dari Menko yang kurang optimal. "Desakan utama publik ada di Menko yang kurang bisa mengkoordinasikan kebijakan investasi. Beberapa malah ada yang kontradiktif, tetapi secara umum belum sempat terlihat." 

Sementara itu, Bharat Joshi, Manajer Investasi PT Aberdeen Asset Management, menilai bahwa Presiden Joko Widodo sedang mengupayakan koalisi untuk menciptakan suara mayoritas di lembaga legislatif. Menurutnya, Jokowi baru menjabat sejak Oktober lalu tetapi sudah mengambil kebijakan positif, contohnya pengurangan subsidi BBM. 

"Melalui kebijakan ini, pemerintah berhasil melakukan penghematan sebesar US$18 miliar per tahun yang dapat digunakan untuk investasi proyek infrastruktur," katanya melalui e-mail.

Dia pun menambahkan bahwa kebijakan Jokowi membentuk layanan investasi satu pintu (PTSP) yang mensinergikan berbagai kementerian dan lembaga pemerintah dapat meningkatkan efisiensi birokrasi dan mencegah korupsi. 

Sumber Bareksa di Istana Presiden pada akhir Juni mengatakan bahwa reshuffle kabinet akan memakan korban kebanyakan dari portofolio ekonomi. Dan calon-calon pengganti yang ditaksir Presiden Joko Widodo adalah mereka yang sudah pernah membuktikan kemampuan kerjanya.

"Nama-nama yang dulu bagus muncul lagi. Amati saja. Termasuk Darmin Nasution," ujar pejabat tinggi yang enggan disebut namanya itu akhir bulan lalu, mengacu pada mantan gubernur Bank Indonesia yang juga pernah menjabat direktur jenderal di Kementerian Keuangan itu. 

Apakah nanti setelah reshuffle, menteri-menteri baru mampu membantu mengangkat sentimen pasar? Kita tunggu sama-sama.