Bareksa.com - Fenomena cuaca El Nino diprediksi akan memperparah kondisi kekeringan di Indonesia, dan berpotensi mengganggu pertanian. Bila pertanian terganggu, mungkinkan terjadi kekurangan pasokan bahan pangan, dan mendorong inflasi?
El Nino—sebutan dalam bahasa Spanyol untuk bocah laki-laki-- merupakan pola cuaca yang membawa angin panas dan kering ke bagian barat Samudera Pasifik, termasuk Indonesia sehingga curah hujan pun berkurang. Sebaliknya, fenomena ini membawa cuaca lembab ke Amerika dan Asia Utara.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan tahun ini muncul El Nino dengan skala sedang, yang terjadi mulai Juni - Juli hingga November. Bersamaan dengan itu, Indonesia juga tengah menghadapi musim kemarau, sehingga keadaan itu patut diwaspadai terutama bila durasinya panjang.
Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG Mulyo Prabowo mengungkapkan kondisi kering itu mengakibatkan gangguan di sejumlah sektor ekonomi terutama pertanian, khususnya tanaman pangan seperti padi. Potensi El Nino moderat kemungkinan besar akan memundurkan musim tanam 2015-2016, dan akhirnya berpotensi menurunkan produksi. "Mengeringnya waduk juga akan mempengaruhi irigasi sawah," ujarnya seperti dikutip Investor Daily.
Oversea-Chinese Banking Corp (OCBC) menilai komoditas perkebunan termasuk minyak sawit akan lebih disukai oleh investor dibanding emas dan tembaga pada semester kedua tahun ini sehingga harganya akan naik. Kondisi itu bisa terjadi karena ada risiko pasokan komoditas perkebunan menipis akibat pola cuaca El Nino.
Analis OCBC Barnabas Gan memperkirakan harga minyak sawit mentah (CPO) mencapai 2.300 ringgit Malaysia ($610) per metrik ton pada akhir tahun ini. Harga tersebut sedikit naik dibanding 2.253 ringgit per metrik ton pada penutupan perdagangan Kamis.
“Dengan munculnya El Nino, cuaca ekstrim menyebabkan kondisi kekeringan di Thailand. Sementara pasokan komoditas pertanian seperti minyak sawit dan kopi sepertinya akan ketat bila cuaca kering terus terjadi," ujarnya dalam riset yang dikutip Bloomberg.
Minyak sawit merupakan salah satu bahan pangan yang dapat diolah menjadi minyak goreng, meskipun pemerintah juga akan mendorong penggunaannya sebagai bahan bakar (biofuel). Dengan kenaikan harga CPO, potensi kenaikan inflasi pada tahun ini juga semakin besar.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), selama sepuluh tahun bahan pangan menunjukkan kenaikan harga yang lebih besar dibanding inflasi secara umum di Indonesia. Hanya pada 2011, inflasi bahan pangan lebih rendah dibanding inflasi umum. Namun, hingga Juni tahun ini, kenaikan harga bahan pangan hanya mencapai 0,57 persen, lebih rendah dibanding inflasi umum sebesar 0,96 persen.
Grafik Inflasi Umum & Bahan Pangan 2006-2015
* Januari-Juni 2015; Sumber: BPS, diolah Bareksa
Mandiri Sekuritas juga mengakui adanya potensi dampak El Nino terhadap pasokan pangan hingga akhir tahun ini. Sebab lahan pertanian di Indonesia, termasuk sawah sangat bergantung pada hujan. Oleh karena itu, Mandiri Sekuritas menilai kebijakan pemerintah akan menjadi kunci terhadap tingkat inflasi tahun ini.
"Kemampuan pemerintah untuk melakukan operasi pasar dan mengambil kebijakan yang membolehkan impor pangan akan membantu mengatasi inflasi pangan," ujar Analis Mandiri Sekuritas Aldian Taloputra dalam riset yang dibagikan pada nasabah.
Mandiri Sekuritas tetap menilai inflasi tahun ini akan lebih rendah dibanding tahun lalu. Alasannya efek harga dasar bahan bakar sudah tidak ada.
"Kenaikan terbatas harga yang diatur pemerintah pada semester kedua tahun ini bersama dengan lemahnya permintaan dapat membawa inflasi ke kisaran 4,5 persen pada akhir 2015," tulis riset itu.