Berita / / Artikel

Benarkah Ekonomi Indonesia di Era Jokowi Mulai Terperosok ke Resesi

• 18 Jun 2015

an image
Calon Presiden Joko Widodo memberi pemaparan platform ekonomi di Jakarta, Rabu (4/6). Jokowi menganalisi permasalahan ekonomi di Indonesia dari masalah pertanian hingga pertahanan yang memberi dampak terhadap perekonomian nasional. ANTARA FOTO/Rosa Panggabean)

Perlambatan ekonomi diakibatkan bukan hanya anjloknya ekspor, tapi juga merosotnya konsumsi.

Bareksa.com – Di tengah ekonomi yang melesu, dan indeks saham yang terempas, mulai merebak kekhawatiran bahwa Indonesia di era Jokowi sedang memasuki lingkaran resesi ekonomi -- bersama sejumlah emerging market lain. Benarkah demikian? Analis Bareksa mencoba menelusuri sejumlah data, supaya dapat dijadikan pegangan.

Secara sederhana, resesi ekonomi adalah bagian dari siklus ekonomi yang berada pada periode di mana pertumbuhan ekonomi merosot, ekonomi mengalami kontraksi.

Memang, data pertumbuhan ekonomi China, Indonesia, Malaysia, dan Filipina menunjukkan terjadinya perlambatan ekonomi pada kuartal II 2015. Namun, apakah fenomena ini sudah sahih disebut sebagai resesi ekonomi?

Grafik: Pertumbuhan GDP Negara Berkembang Kuartal I-2014 s.d. Kuartal I-2015

Sumber: Bareksa.com

Ekonom senior PT Samuel Sekuritas Rangga Cipta mengamini bahwa negara-negara berkembang sedang mengalami perlambatan ekonomi, akan tetapi kondisinya masih jauh dari kategori resesi. “Resesi itu jika dalam dua kuartal annual GDP growth di bawah nol persen,” katanya kepada Bareksa. 

Resesi, menurut dia, biasanya didahului oleh munculnya "resesi finansial", seperti angka inflasi yang tinggi. Saat ini, justru inflasi di kawasan Asia tergolong rendah.

Grafik: Inflasi Tahunan Kawasan Asia Periode Juni 2009 - Mei 2015

Sumber: Bareksa.com

Di mata Rangga, siklus saat ini lebih tepat disebut sebagai "kondisi normalisasi" yang sedang berada di titik negatif. Tingginya arus masuk dana asing ke negara berkembang setelah krisis keuangan melanda Amerika di tahun 2008 lalu, telah menyebabkan munculnya oversupply di segala sektor, seperti properti, minyak, batu bara, dan barang elektronik. Hasilnya, pertumbuhan ekonomi pada periode 2009-2011 melaju kelewat cepat. Setelah itu, ketika permintaan ternyata tidak sanggup menyerap penawaran tersebut, ekonomi berpindah ke titik di mana pertumbuhan ekonomi melambat.

Sementara itu, Direktur Institute for Economic and Social Research Universitas Indonesia, I Kadek Dian Sutrisna Artha, Ph.D, menyatakan resesi terjadi jika perlambatan ekonomi terjadi minimal tiga kuartal berturut-turut. “Potensi resesi tetap ada, tapi masih jauh dari kondisi ekonomi saat ini,” katanya.

Ekonomi di kawasan melambat akibat meredupnya perekonomian China. Negeri Naga merupakan tujuan ekspor dari sejumlah negara, termasuk Indonesia. Apalagi, Indonesia termasuk negara yang sangat mengandalkan ekspor komoditas.  

"Negara yang pertumbuhannya menurun adalah yang memiliki pasar keuangan terbuka, juga yang commodity based seperti Indonesia,” kata Kadek. ”Kita tahu harga komoditas saat ini juga belum menguat."

Selain faktor global itu, kondisi domestik juga belum mendukung. Kadek melihat anjloknya konsumsi masyarakat memberi kontribusi besar pada terjadinya perlambatan ekonomi Indonesia. "Data Badan Pusat Statistik menunjukkan pertumbuhan kuartal pertama jauh dari target bukan hanya karena penurunan ekspor, tapi juga dari penurunan konsumsi."

Karenanya, Kadek mewanti-wanti bahwa belanja pemerintah pada kuartal II 2015 akan sangat menentukan. Belanja pemerintah dapat mendorong konsumsi sehingga dapat meredam perlambatan ekonomi yang sedang terjadi.  

Analis senior PT CIMB Securities Erwan Teguh, dalam laporan riset yang telah disampaikan kepada nasabah, menulis bahwa bearish sentiment -- sentimen yang mendorong penurunan harga saham -- masih akan berlanjut jika pemerintah tidak cepat menstimulasi ekonomi melalui belanja pemerintah.

Masyarakat dan investor khususnya, dia menekankan, telah menaruh harapan tinggi pada pemerintahan Jokowi-JK soal bakal digenjotnya pembangunan infrastruktur. Sayangnya, harapan ini terkikis oleh permasalahan klasik di Indonesia: bertele-telenya birokrasi, kelewat lamanya keputusan tender, serta sulitnya membebaskan lahan. Padahal, Erwan melihat pemerintahan Jokowi-JK telah berhasil mereformasi anggaran belanja dengan antara lain mengalihkan dana subsidi energi ke pembiayaan infrastruktur.

Erwan mengingatkan dampak belanja pemerintah pada belanja masyarakat baru bisa dirasakan sekitar kuartal II 2016 nanti. Berdasarkan data historis, impak belanja pemerintah ke sektor swasta baru bisa dirasakan satu tahun berselang. (kd)

Tags: