Berita / / Artikel

Wacana Larangan Penjualan Bir, Perlukah?

• 12 Jun 2015

an image
Tangan pembeli memilah minuman beralkohol di salah satu minimarket di Jakarta, Jumat (20/2). Kementerian Perdagangan telah melarang peredaran minum beralkohol kadar lima persen di minimarket tertuang dalam Permendag 06/M-DAG/PER/1/2015 yang mulai efektif pertengahan April 2015. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

Industri minuman beralkohol mengalami penurunan pendapatan hingga 40 persen akibat pengetatan distribusi

Bareksa.com - Produsen bir nasional baru saja terpukul sejak diterapkannya aturan yang mengetatkan distribusi minuman beralkohol. Di tengah kondisi ekonomi yang lesu, industri minuman beralkohol mengalami penurunan pendapatan hingga 40 persen akibat peraturan tersebut.

Para produsen belum sempat bernafas untuk mencari strategi menjaga keuntungan bisnisnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) soal Larangan Minuman Beralkohol (LMB). Meski baru wacana, RUU yang merupakan inisiatif DPR tersebut bakal melarang total perdagangan minol di dalam negeri termasuk produksinya.

"Karena dampak yang sangat merugikan dari minol itu kepada masyarakat, maka RUU ini nantinya akan memberikan norma berupa pelarangan total minuman beralkohol mulai dari produksi, distribusi, penjualan sampai konsumsi," tegas Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) Muhamad Arwani Thomafi seperti dikutip detikFinance, pada 24 April 2015.

Seberapa perlukah pelarangan tersebut hingga harus dihentikan sama sekali produksinya?

Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO), memang 3,3 juta orang meninggal pada 2012 akibat penyalahgunaan alkohol. Konsumsi alkohol tidak hanya mengakibatkan kecanduan tetapi juga meningkatkan risiko terkena 200 penyakit termasuk radang hati dan kanker. Minum alkohol berlebihan juga dapat memicu perilaku kekerasan dan kejahatan.

Meskipun demikian, tingkat konsumsi alkohol masyarakat Indonesia masih sangat kecil, hanya sebanyak 0,6 liter per kapita selama tahun 2010. Angka tersebut tidak ada apa-apanya bila dibandingkan konsumsi masyarakat Belarusia yang mencapai 17,5 liter per kapita. Bahkan, konsumsi Indonesia pun lebih rendah dibandingkan negara tetangga Malaysia yang sebanyak 1,3 liter per kapita dan Brunei 0,9 liter per kapita.

Selain itu, laporan WHO juga menunjukan tingkat terjadinya penyalahgunaan alkohol di wilayah Asia Tenggara Lebih rendah dibandingkan di wilayah Eropa dan Amerika. Tingkat prevalensi penyalahgunaan alkohol di Asia Tenggara (SEAR) hanya 2,2 persen dari populasi berusia di atas 15 tahun, lebih rendah dibandingkan angka di Eropa (EUR) yang mencapai 7,5 persen dan Amerika (AMR) yang menyentuh 6 persen.

Grafik Prevalensi Penyalahgunaan Alkohol di Wilayah WHO 2010

Sumber: Laporan WHO

Dampak Signifikan

"Tentang larangan minuman keras, itu kan masih wacana. Substansi sebenarnya adalah bukan larangan tapi pengaturan. Supaya anak-anak tidak minum-minuman keras, minuman keras tidak dijual dekat sekolah, atau mencegah orang-orang mabuk sambil menyetir. Itu yang penting, bukan larangan," kata Menteri Perekonomian Sofyan Djalil seperti dikutip sejumlah media.

Memang larangan itu masih berupa wacana, tetapi pengetatan distribusi sejak April sudah memberikan dampak yang signifikan bagi produsen miras. Hal ini terlihat dari penjualan dua produsen miras yaitu PT Multi Bintang Tbk (MLBI) dan PT Delta Djakarta Tbk (DLTA) sepanjang tiga bulan pertama tahun ini.

Pendapatan MLBI sepanjang kuartal pertama tahun ini anjlok 23 persen menjadi Rp 569 milliar dibandingkan kinerja periode sama tahun lalu. Laba bersih produsen Bir Bintang itu pun anjlok 42 persen menjadi Rp 107 milliar. Delta Djakarta juga merasakan hal yang sama dengan pendapatan anjlok 42,5 persen menjadi Rp329,32 miliar dan laba bersih tenggelam 58,93 persen menjadi Rp33,35 miliar.

Seiring dengan penurunan pendapatan tersebut, cukai bir dan pajak penjualan yang disetorkan kepada pemerintah pun turun ikut turun dengan tingkat yang sama. Dari sisi ini, penerimaan negara pun berkurang.

Harga saham kedua emiten tersebut di bursa pun terus turun. Hal ini pastinya akan merugikan investor publik, terutama Delta Djakarta yang 26,25 persen sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. (Baca juga: Imbas Miras Dilarang, Harga Saham MLBI & DLTA Turun Diatas 15 Persen)

Menanggapi wacana larangan tersebut, Delta Djakarta yang terkenal dengan merek Anker Beer akan berupaya mengajak pemerintah untuk berdiskusi. Pasalnya, pengetatan distribusi yang baru efektif beberapa bulan ini sudah menjatuhkan kinerja perseroan, apalagi larangan total.

"Kami sependapat pengaturan tetapi tidak larangan penuh karena akan timbul masalah baru penyalahgunaan anak di bawah umur termasuk penjualan ilegal. Kita bisa mencegah penyalahgunaan tanpa mengambil hak konsumen yang memilih minum secara bertanggung jawab," kata Direktur Pemasaran Delta Djakarta Ronny Titiheruw di depan wartawan 11 Juni 2015.

Dia pun yakin masih ada alternatif aturan komprehensif untuk mencegah kelebihan penyalahgunaan alkohol. Sebagai industri yang sudah berdiri selama 80 tahun di Indonesia, pemilik merek Carlsberg ini juga bersedia untuk berdialog dengan pemerintah untuk membahas win-win solution. (Baca juga: Kenapa Ahok Tak Sudi Melepas Saham DKI di Produsen Bir Anker)

 

Tags: