Saham Perbankan Kembali Longsor Setelah Wacana Penurunan Suku Bunga KUR

Bareksa • 11 Jun 2015

an image
Petugas menghitung pecahan uang yang baru di Bank Rakyat Indonesia (BRI) Kudus, Jateng, Selasa (15/7) - (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko)

Penurunan terbesar dialami saham BBRI yang selama ini dikenal sebagai bank penyalur kredit mikro dan UMKM terbesar

Bareksa.com – Harga saham-saham perbankan terus mengalami tekanan terimbas rencana pemerintah yang akan menurunkan tingkat bunga kredit usaha rakyat (KUR).

Suku bunga KUR ini akan diturunkan bertahap hingga level yang sama dengan kredit korporasi sekitar 12 persen dari saat ini 16 persen (untuk ritel KUR) dan 21 persen dari sebelumnya 22 persen (untuk mikro KUR).

“Keadilan KUR itu bunganya tidak boleh lebih tinggi dibanding kredit korporasi. Setidak-tidaknya harus sama. Kalau perlu di bawahnya,” ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla seperti dikutip Bisnis Indonesia.

Tabel Penurunan Harga Saham Perbankan

Sumber: Bareksa.com  

Dari lima emiten perbankan besar, harga saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) menurun paling dalam sebesar 17,57 persen. Harga saham BBRI pada perdagangan hari ini (Kamis, 11 Juni 2015) pun masih terkoreksi 2,87 persen menjadi Rp10.125 pada pukul 14.24 WIB dari harga pembukaannya Rp10.425.

Pelaku pasar tampaknya khawatir kebijakan ini akan berdampak negatif bagi BBRI. Selama ini bank tertua di Indonesia ini dikenal sebagai penyalur terbesar kredit segmen mikro dan UMKM.

Grafik Pergerakan Intraday Saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI)

Sumber: Bareksa.com

Pinjaman KUR merupakan program kredit dari pemerintah bagi masyarakat yang tidak memenuhi syarat sebagai peminjam perbankan (non-bankable). Terdapat dua jenis pinjaman KUR dalam penyalurannya, KUR untuk usaha mikro dengan pagu senilai Rp25 juta dan KUR untuk usaha ritel dengan pagu Rp100 - 500 juta.

Dalam laporan risetnya, analis Deutsche Securities Raymond Kosasih mengungkapkan aturan ini tidak mudah diterapkan karena pemerintah mempunyai keterbatasan campur tangan dalam  mendikte agar suku bunga kredit dapat lebih rendah.

Terlebih, likuiditas perbankan saat ini juga tidak besar, dengan rata-rata rasio Loan to Deposit Ratio (LDR) sebesar 90 persen, sekaligus menunjukkan likuiditas perbankan belum banyak.

Nilai ini juga menujukkan persaingan pendanaan akan kembali tinggi ketika pertumbuhan kredit kembali pulih ke level 15 - 20 persen. “Sehingga sulit untuk mengatur suku bunga kredit terlalu rendah,” ujarnya dalam laporan riset kepada investor.

Namun, menurut dia, jika jadi diberlakukan pun  dampak terhadap Bank BRI seharusnya sangat kecil karena porsi penyaluran kredit KUR oleh bank ini masih sekitar 5 persen. Selain itu, aturan ini hanya diberlakukan bagi penyaluran kredit KUR yang baru.

Raymond meyakini bahwa kebijakan ini malah akan menguntungkan BRI dalam jangka panjang.

“Secara jangka panjang, kami memperkirakan penurunan suku bunga KUR  secara bertahap mungkin menguntungkan BRI karena ini dapat meningkatkan pangsa pasar BRI di segmen mikro,” ujarnya.

Menurut dia, BRI jelas diunggulkan dalam penyaluran kredit KUR ini karena biayanya lebih efisiensi dibanding bank lain yang masih berusaha meningkatkan efisiensi biayanya dengan mengurangi tingkat suku bunga deposito.