Bareksa.com - Pekan pertama bulan Juni tahun ini rupiah melemah 0,53 persen hingga menyentuh level 13.300 per dolar imbas dari kenaikan yield obligasi serta repatriasi dividen dan bunga utang.
Merosotnya harga obligasi mendorong yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun kembali naik menjadi 8,5 persen hari ini dari awal bulan masih berkisar 8 persen. Kenaikan ini terjadi imbas dari naiknya yield obligasi negara maju seperti Amerika dan Eropa.
Yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun Amerika naik menjadi 2,3 persen dan Jerman juga melonjak menjadi 0,8 persen berdasarkan data tradingeconomics.com.
Melesatnya yield obligasi Jerman hingga menyentuh level tertinggi dalam enam bulan terakhir setelah inflasi tahunan 19 negara di zona Eropa per Mei 2015 naik menjadi 0,3 persen, lebih tinggi dari ekspektasi 0,2 persen, mengutip dari Reuters.
Perbaikan ekonomi Eropa dikhawatirkan membuat pemerintah Eropa mengurangi stimulus ekonomi yang direncanakan. Rangga cipta, ekonom PT Samuel Sekuritas menyebut pergerakan nilai tukar rupiah tidak terlepas dari persoalan likuiditas dana global.
"Jika stimulus Eropa turun, sumber likuiditas global bisa berkurang," kata Rangga.
Walaupun hal ini membuat dollar index melemah yang seharusnya positif bagi nilai tukar rupiah. Dollar index juga melemah seiring dengan ekspektasi Bank Sentral Amerika, The Fed akan menunda kenaikan suku bunga karena masih mengalami deflasi dalam dua bulan terakhir.
Sayangnya, yield obligasi Indonesia menyesuaikan dengan naiknya yield obligasi Eropa dan mendorong dana investor asing keluar sehingga menekan rupiah.
Tetapi jika dilihat kinerja rupiah bukan yang terburuk. Pada periode yang sama Ringgit Malaysia tercatat turun 1,31 persen tarhadap dolar, diikuti dengan Peso Filipina yang turun 1,01 persen, baru kemudian rupiah yang turun 0,53 persen. (baca juga:Dolar Capai Rp13.300, Pemerintah Lebih Tegas Terhadap Utang Luar Negeri Swasta)
Grafik: Pelemahan Mata Uang Regional Terhadap Dolar
Sumber:bareksa.com
Lanang Trihardian, Investment Analyst PT Syailendra Capital mengatakan tekanan rupiah juga disebabkan kondisi internal yakni adanya pembayaran dividen dan bunga utang perusahaan. Yang banyak melakukan pembelian dollar selama sepekan adalah bank asing dan dalam jumlah yang cukup besar. Hal ini mengindikasi adanya pembayaran kepada investor asing (repatriasi) atas deviden yang diperoleh dari investasinya di Indonesia.
Dari pengamatan analis Bareksa di bulan Mei saja, setidaknya 37 perusahaan membayarkan dividen kepada investor yang sebagian dimiliki investor asing.
Sebagai contoh, PT Astra International Tbk (ASII) yang membayarkan dividen pada 29 Mei 2015 senilai Rp8,74 triliun. Per April 2015, Jardine Cycle & Carriage Ltd yang berpusat di Singapura masih menguasai 50 persen saham Astra, menunjukan dividen yang dibagikan akan dibayarkan ke perusahaan Singapura tersebut.
PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) juga pada 21 Mei 2015 telah membagikan dividen Rp8,8 triliun kepada investor.
Sampai bulan Juli mendatang masih banyak perusahaan yang akan membayarkan dividen. PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) akan membagikan Rp1,9 triliun, begitupun juga dengan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) yang akan membagikan dividen Rp4,69 triliun.
Tabel: Daftar Perusahaan Yang Akan Membayar Dividen Sampai 19 Juli 2015
sumber:bareksa.com
Hal ini menunjukan masih ada faktor dalam negeri yang bisa mendorong pelemahan rupiah. Lanang melihat ini merupakan siklus sementara sehingga diperkirakan nilai tukar rupiah akan membaik bulan depan. (np)
(baca juga:Prediksi Ekonom Singapura Rupiah Bisa Ambruk ke 25.000, Ngawur? Ini Datanya)