Bareksa.com - Rendahnya penerimaan negara pada periode Januari-Mei 2015 dikhawatirkan bakal menghambat laju pertumbuhan infrastruktur. Jalan keluar tercepat, pemerintah harus menggenjot utang guna menutupi defisit anggaran. Lalu apa impaknya?
Berdasarkan data historis yang dihimpun analis Bareksa, dalam enam bulan pertama biasanya pendapatan negara sudah mencapai rata-rata 42 persen dari target. Melihat realisasi anggaran tahun lalu, angka penerimaan tertinggi dicapai pada bulan Mei 2014.
Tetapi, dalam lima bulan pertama tahun ini, pemerintah baru membukukan penerimaan sebesar Rp502,7 triliun atau 28,5 persen dari target. Rendahnya angka ini otomatis membuat belanja negara juga melambat. Data realisasi belanja negara menunjukkan bahwa di periode yang sama, angkanya baru mencapai 27,7 persen dari target.
Grafik: Penerimaan Negara Semester I 2012-2014 dan Januari-Mei 2015
Sumber: Kementerian Keuangan, diolah Bareksa.com
Grafik: Penerimaan Negara Semester I 2012-2014 dan Januari-Mei 2015
Sumber: Kementerian Keuangan, diolah Bareksa.com
Lembaga pemeringkat Standard & Poor's (S&P) Rating Services dalam webcast 22 Mei 2015 menyatakan tidak melihat rendahnya penerimaan pajak menjadi masalah bagi investor asing, asalkan pemerintah mengimbanginya dengan penerimaan lain. "Memang ada tekanan dalam penerimaan pajak, tapi pemerintah dapat menambalnya dengan obligasi dan menggalang dana dari pasar modal," ujar Director of Sovereign Ratings S&P, Kyran Curry.
Pasal 19 UU No. 27/2014 menyatakan jika defisit melampaui batas yang ditetapkan APBN, maka pemerintah bisa menggunakan dana Saldo Anggaran Lebih (SAL) atau menarik pinjaman siaga yang berasal dari bilateral dan multilateral. Selain itu, pemerintah juga bisa menerbitkan tambahan Surat Berharga Negara (SBN) -- melalui obligasi pemerintah atau sukuk -- sebagai tambahan pembiayaan.
Akan tetapi, memang, menambal pembiayaan melalui utang akan menambah risiko utang negara, meski tidak akan memberikan tekanan yang signifikan karena obligasi pemerintah memiliki tenor panjang.
Menurut Curry, investor asing tidak mempermasalahkan target penerimaan pajak pemerintahan Jokowi yang begitu ambisius. Investor lebih melihat capaian nyata seperti naiknya outlook peringkat utang Indonesia menjadi "positif" dari "stabil"; sebagai buah keputusan berani Presiden Jokowi memangkas dana subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Meski tidak populer, keputusan tersebut mampu mengurangi beban anggaran.
"Yang menjadi perhatian bukan target penerimaannya, tapi bagaimana pemerintah dapat menunjukkan ada kemajuan dari program yang telah dicanangkan," kata Curry. Ketimbang soal penerimaan negara, yang lebih dikhawatirkan investor adalah terhambatnya proyek-proyek infrastruktur unggulan.
Nomura
Berbeda dengan S&P yang masih menilai positif outlook ekonomi Indonesia, perusahaan investasi asal Jepang, Nomura, justru melihat rendahnya penerimaan negara sepanjang lima bulan pertama 2015 sebagai hal yang perlu diwaspadai investor. Dalam laporan yang telah disampaikan kepada nasabah, Nomura menjelaskan kekhawatiran mereka soal target penerimaan pajak pemerintahan Jokowi yang terlalu ambisius. Di anggaran saat ini target penerimaan pajak melonjak 19,5 persen menjadi Rp1.489,3 triliun.
Hal ini telah menyebabkan anjloknya konsumsi dan lalu memaksa Bank Indonesia jadi tidak konsisten dalam langkah moneternya. Pada Februari 2015 lalu, BI Rate diturunkan menjadi 7,5 persen guna mendorong konsumsi dan sekarang aturan kredit kembali akan diperlonggar. Padahal, di sisi lain, BI perlu mengantisipasi langkah Bank Sentral Amerika menaikkan tingkat bunga yang dikhawatirkan bakal kembali menekan rupiah. (Baca juga: Analis Ragukan Janji Jokowi Genjot Infrastruktur, Kenapa?)
Rangga Cipta, ekonom senior PT Samuel Sekuritas Indonesia, juga melihat ada efek negatif dari rendahnya penerimaan pajak tersebut. Di satu sisi, jalan keluar yang paling cepat dan mudah -- untuk membiayai belanja negara guna mendorong pertumbuhan dan kenaikan pendapatan pajak -- adalah dengan menaikkan jumlah utang. Tetapi, di sisi lain, hal itu akan memicu efek crowding out -- kondisi di mana pemerintah gencar menarik pembiayaan melalui utang hingga menyaingi pihak swasta, yang berakibat pada meningkatnya beban bunga (cost of fund).
Saat ini saja cost of fund--yang tercermin dari yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun--telah kembali meningkat ke level 8 persen dari sebelumnya 7 persen; demikian menurut data Bareksa. Artinya, beban bunga yang dibayar pemerintah juga jadi semakin besar.
Sumber: Bareksa
Selain itu nilai tukar rupiah akan makin terpukul. Daya tahannya akan semakin melemah. Agar surat utang yang dijual pemerintah bisa menarik bagi pasar saham, maka perlu didukung dengan relaksasi kebijakan Bank Indonesia seperti melonggarkan aturan kredit maupun menurunkan tingkat bunga acuan (BI Rate).
"Jika memang penerimaan pajak terus rendah dan terpaksa harus menambah pembiayaan dari utang, ada baiknya pemerintah pinjam melalui SBN ketimbang dari negara tetangga, karena sentimennya jelek." Jangan sampai, Rangga mewanti-wanti, sudah beban bunga meningkat, kredibilitas pemerintah juga anjlok gara-gara harus menggenjot pinjaman luar negeri, baik bilateral maupun multilateral. (kd)