Bareksa.com - Tek-tok negosiasi proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung senilai Rp150 triliun menarik banyak perhatian dan membuat sibuk dua negara ekonomi raksasa China dan Jepang.
Pejabat dari kedua negara ini bolak-balik bertemu secara terpisah dengan pihak Indonesia untuk membahas proyek pembangunan kereta api cepat pertama di Indonesia, yang akan melintas di rel sepanjang 750 km, menghubungkan Jakarta-Bandung-Cirebon-Surabaya.
Tapi sampai hari ini masih belum ada tanda-tanda terang siapa yang akan mendapat konsesi untuk membangun proyek ini. China atau Jepang?
Terlihat seperti mereka sedang diadu, dengan tujuan supaya Indonesia mendapat deal yang maksimal -- dari siapapun yang akhirnya mendapat proyek ini.
Hari Kamis dan Jumat, 22 Mei 2015, Wakil Presiden Jusuf Kalla berada di Tokyo, diundang hadir sebagai pembicara pada seminar yang diselenggarakan raksasa media Nikkei Inc. Di sela-sela acara, sudah diatur agar JK bertemu dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe. Tidak mengagetkan jika salah satu fokus pembicaraan mereka adalah proyek kereta api cepat Jakarta-Surabaya itu.
"Pertemuan bilateral Indonesia-Jepang membahas berbagai proyek infrastruktur, terutama kereta api cepat Jakarta-Bandung, Jakarta-Surabaya, dan pelabuhan pengganti Cilamaya," ujar Wijayanto Samirin, Staf Khusus Bidang Ekonomi dan Keuangan Wapres Jusuf Kalla.
Sebelum kunjungan JK ke Tokyo, Indonesia sebenarnya sudah terlihat akrab dengan China, paling tidak dalam dua kesempatan. Di sela-sela kunjungan Presiden Joko Widodo ke China pada Maret lalu, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno melakukan penandatanganan MoU dengan pemerintah China untuk membangun proyek kereta api cepat untuk bagian Jakarta-Bandung, yang akan memotong waktu tempuh antara dua kota ini menjadi 1/2 jam, dari 2 jam sekarang ini.
Langkah ini membuat Jepang kecewa, karena Jepang baru saja menyelesaikan studi kelayakan atas proyek yang sama. Malahan, menurut sumber Bareksa, diplomat senior Kedutaan Jepang sempat berkunjung ke Bina Graha menemui tangan kanan Jokowi, Luhut Pandjaitan, yang juga Kepala Kantor Staf Kepresidenan, untuk melaporkan bahwa studi kelayakan yang memakan biaya $6 juta sudah selesai dan menagih kapan proyek tersebut diberikan kepada Jepang.
Luhut, masih menurut sumber ini, merespons dengan datar bahwa Indonesia tidak pernah memberikan komitmen apapun terhadap Jepang, dan menegaskan bahwa konsesi proyek kereta api cepat masih belum diputuskan kepada siapa akan diberikan. Jepang harus bersaing dengan China.
Padahal, menurut pengertian Jepang, dengan JICA (Japan International Cooperation Agency) mengeluarkan dana $6 juta untuk melakukan studi kelayakan, mereka lah yang berhak mendapat proyek ini.
"JICA menggunakan dana yang berasal dari pembayaran pajak warga negaranya. Sulit bagi JICA untuk mempertanggungjawabkan biaya $6 juta yang sudah dikeluarkan kalau Jepang tidak mendapat proyek ini," ujar seorang pengamat yang mengikuti perkembangan proyek ini dari dekat. JICA mulai melakukan studi kelayakan atas proyek kereta api cepat ini sejak awal 2014, saat Indonesia masih berada di bawah pemerintahan Presiden ke-7 Susilo Bambang Yudhoyono.
Lagi-lagi, pada bulan April lalu, di sela-sela pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika di Jakarta, Rini melakukan penandatanganan MoU kedua kali dengan China, dengan klausul yang lebih detil lagi -- Cina diharapkan memulai studi kelayakan awal Mei dan menyelesaikannya pada tanggal 20 Juli 2015, sementara pihak Indonesia diharapkan untuk memberikan data-data, antara lain, topografi, geologi dan seismologi atas daerah yang dilintasi jalur kereta api cepat.
"Kelihatan sekali kekompakan Pak JK dan Jokowi, saling mengisi bernegosiasi dengan Jepang dan Cina untuk mendapatkan deal terbaik," ujar Wijayanto yang ikut dalam rombongan JK ke Tokyo.
Persaingan antara China dan Jepang di Indonesia terjadi sejalan dengan meningkatnya upaya Cina menyebar pengaruhnya di Asia Tenggara dengan menggunakan kekayaan cadangan devisanya. Taktik ini sering disebut dengan istilah 'chequebook diplomacy'.
Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang dimotori China merupakan bentuk nyata dari permainan diplomasi China. AIIB dibentuk untuk membantu pendanaan pembangunan infrastruktur di Asia.
Glenn Maguire, Ekonom Kepala ANZ untuk wilayah Asia, Asean dan Kepulauan Pasifik, menulis dalam laporan risetnya tanggal 25 April, bahwa ada kompetisi yang mulai muncul dalam ruang pembiayaan infrastruktur di wilayah Asia Tenggara.
"Saya rasa Asian Development Bank (yang dimotori oleh Amerika dan Jepang) tidak akan tinggal diam menghadapi langkah-langkah AIIB. Saya yakin ke depannya ADB akan bergerak lebih cepat dalam menyalurkan dana untuk berbagai proyek."
Patut kita syukuri bahwa tampaknya Pemerintah Indonesia tidak ketinggalan kereta untuk ikut mengambil manfaat dari perkembangan politik di luar negeri saat ini. Kebetulan penentu kebijakan proyek kereta api cepat -- Jokowi, JK, dan Rini -- adalah seorang pedagang sebelum mereka menjadi pejabat. Dan pedagang biasanya lebih pintar bernegosiasi. (kd)