Bareksa.com – Sejumlah kalangan menyambut positif rencana pemerintah mengurangi tarif pajak penghasilan pasal 25 (PPh Badan) menjadi 17-18 persen dari sebelumnya 25 persen. “Itu bagus. Perusahaan-perusahaan akan memilih membayar tarif secara jujur daripada harus repot memanipulasi kewajiban pajaknya,” ujar Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Dr. Ari Kuncoro.
Menurut Adi, penyerapan pajak yang selama ini rendah –tercermin dari nilai tax ratio– dapat meningkat seiring dengan penerapan kebijakan penurunan tarif tersebut. Rasio pajak adalah perbandingan nilai penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto. (Lihat: PPh Badan Dikurangi, Bagaimana Dampaknya Terhadap Emiten?)
Adi menilai kebijakan itu mirip dengan kebijakan PT Commuterline Jabodetabek yang menurunkan tarif untuk meningkatkan jumlah pengguna moda angkutan transportasi murah tersebut.
“Banyak orang enggan naik kereta api commuterline sebelum kebijakan tarif kereta api diubah. Tetapi, ketika tarifnya diubah menjadi tarif progresif, banyak masyarakat memilih menggunakan angkutan kereta api dibanding angkutan lainnya.”
Berdasarkan pantauan Bareksa, rata-rata tax ratio Indonesia selama 9 tahun terakhir tercatat hanya sebesar 11,75 persen dan nilainya tidak pernah mencapai angka 14 persen. Nilai ini terus menurun sejak 2008 seiring perlambatan perekonomian Indonesia.
Padahal, idealnya tax ratio untuk negara berkembang dapat mencapai 20 persen.
Grafik: Tax Ratio Indonesia Periode 2006-2015*
Sumber: BPS, diolah Bareksa
Ari juga menilai kebijakan tersebut lebih positif dalam meningkatkan penyerapan potensi pajak dibandingkan kebijakan sebelumnya yang terkesan “membabi-buta” dan “kejar setoran” dalam mencari sumber penerimaan pajak baru.
Untuk meningkatkan tax ratio, kata dia, bila dipaksakan mencari sumber pajak baru di tengah kondisi perekonomian yang memburuk, maka perekonomian akan makin terpuruk. (Baca juga: Wacana Pengenaan Pajak Dikritik Pelaku Usaha; Pemerintah Dianggap Kejar Setoran)
“Kondisi ini menyebabkan banyak perusahaan tidak bisa membayar pajak. Banyak orang di-PHK, banyak pengusaha yang biasa bayar pajak tiba-tiba omsetnya turun, sehingga tak bisa bayar pajak juga,” katanya. ”Jadi, normal bila tax ratio-nya turun karena pada dasarnya pajak diambil dari perekonomian.”
Turunnya tax ratio disebabkan pula turunnya harga komoditas
Ekonom Mandiri Sekuritas Aldian Taloputra berpendapat turunnya tax ratio tidak terlepas dari penurunan harga komoditas, terutama harga komoditas utama Indonesia seperti batu bara dan minyak kelapa sawit (CPO). "Peran komoditas di perekonomian kita, cukup besar kontribusinya."
Grafik: Pergerakan Harga Komoditas Palm Oil dan Batubara (US$/ton)
Sumber: Indexmundi, diolah Bareksa
Aldian mencontohkan tax ratio Indonesia pernah mencapai puncaknya pada 2008. Saat itu harga komoditas mencapai titik tertingginya. Menurut dia, pembayaran pajak perusahaan dan masyarakat yang bekerja di sektor komoditas meningkat seiring kenaikan harga jual komoditas. "Pendapatan masyarakat akan naik ketika harga jual komoditas juga tinggi dan peningkatan ini juga akan berpengaruh kepada pembayaran pajak mereka."
Namun, kondisi sebaliknya terjadi saat ini ketika harga-harga komoditas tersebut sedang dalam tren menurun. Harga CPO dan batu bara terus menurun seiring pelemahan permintaan dunia, khususnya China dan India yang terus mengurangi permintaannya. (pi)