Bareksa.com - Masalah yang menimpa PT Berau Coal Energy Tbk (BRAU) semakin rumit. Di tengah persaingan antara Sinarmas Grup dan Nathaniel Rothschild (NR Holdings, Inggris) mengakuisisi Asia Resource Minerals Plc (ARMS), induk usaha BRAU, tiba-tiba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mempermasalahkan pemegang saham asing PT Berau Coal (cucu usaha BRAU). Padahal, konflik dualisme kepemimpian di manajemen BRAU juga belum tuntas.
Surat Direktorat Mineral dan Batu bara Kementerian ESDM Nomor 998/32/DBB/2015 tertanggal 23 April 2015 menyebutkan perusahaan status penanaman modal asing (PMA) pada BRAU menyalahi ketentuan dalam kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) milik PT Berau Coal. Seharusnya kepemilikan saham peserta nasional harus mayoritas di perusahaan ini.
Kementerian ESDM mendesak induk usaha Berau Coal mendivestasikan 51 persen sahamnya kepada perusahaan Indonesia. Berau Coal memegang PKP2B generasi pertama sejak 1983 dan akan berakhir pada 2025. Berau sudah berproduksi sejak 1995 di bawah kontrak yang berlaku hingga 30 tahun dengan opsi diperpanjang atas persetujuan pemerintah.
Saat ini, 90 persen saham Berau Coal dipegang secara tidak langsung oleh BRAU-- perusahaan publik dan tercatat di Bursa Efek Indonesia—melalui PT Armadian Tritunggal (51 persen) dan Aries Investment (39 persen). Kementerian ESDM menilai kedua pemegang saham Berau Coal itu berstatus PMA. Di sisi lain, BRAU juga mayoritas (84,7 persen) dikuasai oleh Asia Resource Minerals Plc (ARMS) yang merupakan perusahaan investasi berkedudukan di British Virgin Islands dan tercatat di Bursa London.
Grafik Struktur Organisasi Grup BRAU
Sumber: Laporan Keuangan BRAU, diolah
Dengan komposisi kepemilikan tersebut, Berau Coal dianggap PMA dan menyalahi ketentuan dalam kontrak PKP2B yang seharusnya berstatus Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Karena itu, Kementerian ESDM meminta pemegang saham Berau Coal seegera menjual sahamnya agar kepemilikan sahamnya di bawah 51 persen.
GM Corporate Communications BRAU Singgih Widagdo mengakui telah menerima surat dari Kementerian ESDM yang mempertanyakan posisi perseroan saat ini sebagai PMA. Namun, perseroan belum menetapkan jangka waktu untuk segera mematuhi peraturan yang membatasi kepemilikan asing di tambang Indonesia itu. "Sebagai perusahaan terbuka, kami akan penuhi peraturan itu mungkin dengan cara offering (penawaran saham). Namun, dengan kondisi harga komoditas saat ini, perlu waktu," katanya kepada Bareksa.
Singgih menjelaskan bahwa posisi perseroan sekarang memang PMA setelah transaksi tukar guling saham di tingkat induk usahanya pada 2013. Namun, untuk memenuhi ketentuan pemerintah butuh waktu.
"Kami sudah bertemu dengan Kementerian ESDM dan mereka sudah mengerti posisi perusahaan,” ujarnya.”Sejauh ini belum ada time table (jadwal) karena kami masih fokus untuk menyelesaikan konflik RUPS terakhir kami." (Baca: Bursa Sarankan Kasus Berau ke Ranah Hukum)
Desakan Kementerian ESDM agar pemegang saham asing Berau Coal menjual sahamnya boleh jadi akan mempengaruhi perebutan akuisisi ARMS di London dan menentukan divestasi Berau Coal selanjutnya. Bila Rothschild yang menang, divestasi Berau Coal tampaknya wajib dilanjutkan. Sebaliknya, bila Sinar Mas yang berhasil mengakuisisi ARMS, kemungkinan divestasi Berau Coal tidak akan terjadi karena grup konglomerasi ini merupakan perusahaan nasional Indonesia. (Baca juga : Kenapa Sinarmas Tertarik Pada Berau Coal? Padahal Keuangan BRAU Kena Rapor Merah). (pi)